BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Berbicara
tentang peradilan agama di Indonesia tidak akan lepas dari sejarah yang melatar
belakanginya, ada empat produk hukum yang mempengaruhi berlakunya hukum di
Indonesia, yaitu hukum adat masyarakat asli sebagai warga pribumi, hukum Eropa
daratan (kontinental) yang dikenal dengan civil law, hukum Eropa
kepulauan yang dikenal dengan nama common law atau Anglo Saxon yang
dibawa oleh penjajah Belanda, serta hukum Islam sebagai produk pemahaman
Islam yang dipopulerkan oleh penduduk muslim Indonesia pada masa
kerajaan-kerajaan Islam.
Peradilan
Islam dalam sejarahnya mengalami pasang surut, itu mungkin tidak lepas dari
kenyataan adanya beberapa produk hukum yang berbeda yang saling mengambil
tempat untuk bisa eksis dan diaplikasikan di Indonesia oleh masing-masing
penggagasnya, keadaan sosial masyarakat, sistem pemerintahan yang sedang
berkuasa, sangat mempengaruhi perkembangan Peradilan Islam di Indonesia.
Hal-hal
tersebut bisa terlihat dari potret sejarah perjalanan Peradilan agama. Penulis
menilai ini sangat menarik sekali untuk dikaji karena akan memberikan gambaran
kepada kita faktor-faktor yang mempengaruhi pasang surut perjalanan Peradilan
Agama di Indonesia, sehingga mungkin akan menumbuhkan sikap tertentu dan
paradigma baru yang akan membawa kepada masa depan Peradilan Agama yang lebih
baik lagi, karena bagaimanapun juga ini merupakan salah satu simbol kebesaran
Islam yang ada di Indonesia.
B.
RUMUSAN MASALAH
Penulis membatasi pembahasan dalam
penulisan ini pada masalah-masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
sejarah perjalanan Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda ?
2. Bagaimana sejarah perjalanan Peradilan
Agama pada Masa Penjajahan Jepang ?
C. METODOLOGI
PENULISAN
Kajian ini adalah merupakan bentuk
penelitian kualitatif, yang menekankan kajian kepustakaan (library research) untuk mencari data-data tentang sejarah Peradilan
Agama melalui pendekatan Teori Sosial, Tata Negara, dan Living Law, sehingga
diharapkan akan ditemukan sebuah gambaran tentang tumbuh kembang Peradilan
Agama pada saat itu serta factor-faktor yang mempengaruhinya, baik kondisi
sosial, politik, maupun budaya saat itu.
D. SISTEMATIKA
PENULISAN
Untuk memudahkan pemahaman serta terfokusnya
penulisan ini, penulis menyusunnya dengan sistematima sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, runusan masalah,
serta sistematika penulisan.
BAB II : PEMBAHASAN
Berisi pemaparan tentang sejarah Peradilan Agama
pada masa penjajahan Belanda, yang meliputi tiga periode, masa transisi, masa
tahun 1882-1837. Dan masa setelah tahun 1937 sampai penjajahan Jepang. Kemudian
perjalanan Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang sampai merdeka.
BAB III :
KESIMPULAN DAN PENUTUP
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
PERADILAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA
Dalam memahami potret perjalanan
peradilan agama di Indonesia pada masa penjajahan, dapat di klasifikasi menjadi
beberapa periode, yaitu era sebelum tahun 1882 pada masa kerajaan-kerajaan dan
awal pendudukan belanda dan masa setelah belanda melancarkan politik hukum,
setelah tahun 1882 sampai sekitar tahun 1937, dari sekitar tahun 1937 sampai
pendudukan jepang, dan era setelah pendudukan jepang sampai Indonesia merdeka.
Berikut ini akan dipaparkan secara detail perjalanan peradilan agama dalam
periode-periode tersebut.
a.
Sebelum tahun 1882 (masa transisi)
Sebelum
belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia[1], hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai
kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan
perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di
Indonesia melaksanakan hukum islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing,
dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan
lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin
diperlukan.
Masyarakat
pada masa kerajaan sampai awal kolonial belanda berkuasa dengan rela dan patuh
serta tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan.
Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme
barat yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan
sampai misi kristenisasi[2].
Peradilan
Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat
administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama pada masa itu
biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula
disebut “pengadilan serambi”. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan
hukum Islam sebagai muatan isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus
perkara, tidak dapat dipisahkan. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga
peradilan agama termasuk bagian tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, para
ulama yang memegang kekuasaan dalam Peradilan Agama merupakan penghulu kraton
yang mengurus keagamaan islam dalam semua aspek kehidupan. Kewenangan Peradilan
Agama yang diselenggarakan oleh pihak keraton tersebut sangat luas mencakup
perbagai permasalahan kemasyarakatan dan kerajaan.
Eksistensi
Peradilan Agama yang di praktekkan tersebut merupakan bukti bahwa hukum Islam
telah mampu melebur dengan hukum adat Indonesia, dan justru lebih bisa di
terima oleh masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari keadaan sosial
masyarakat saat itu yang mayoritasnya sudah memeluk agama Islam, selain itu
kekuasaan pemerintahan kerajaan juga sangat mendukung aktifnya Peradilan Agama.
Setelah
Belanda datang ke Indonesia dan mulai menjajah, dengan VOC yang merupakan badan
persatuan pedagang yang sekaligus berfungsi sebagai badan pemerintahan mereka
di Indonesia, keadaan sedikit berubah, mereka berusaha mengikis eksistensi
Peradilan Agama yang diparaktekkan oleh warga pribumi melalui
kebijakan-kebijakan mereka, pada tanggal 4 maret 1620 mereka mengeluarkan
instruksi agar di semua daerah yag dikuasai VOC harus diberlakukan Hukum Sipil
Belanda[3]. usaha mereka ini tidak berhasil karena tidak diterima oleh
masyarakat, dan bahkan mereka banyak yang melakukan perlawanan.
Pada
tanggal 25 mei 1760 berlakunya Hukum Islam di akui oleh VOC melalui Resolutie
der Indische Regeling, yaitu berupa kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan
Hukum Kewarisan mebnurut Hukum Islam[4].
Hal ini
mngkin disebabkan karena sistem pemerintahan Belanda belum kuat kekuasaannya,
dan juga idealisme serta fanatisme keberagamaan masyarakat Indonesia pada saat
itu yang sangat kuat sekali, sehingga upaya pemerintah Belanda untuk menekan
Peradilan Agama dan memasukkan hukum Eropa kurang berjalan lancar.
Kemudian
pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) Pengadilan Agama belum berdiri sendiri sebagai lembaga
independen, meskipun demikian untuk daerah Banten, daendels membiarkan adanya
Pengadilan Penghulu yang dapat praktik memutuskan perkara-perkara kekeluargaan
menurut hukum Islam. Di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, walaupun
tidak ada Pengadilan Agama di setiap landgerecht
diikut sertakan seorang penghulu yang akan ikut memberikan pertimbangan bila
ketua (bupati) Landoros beserta
anggota akan memutuskan perkara./ untuk setiap viredesqerecht di Jawa Tengah dan Jawa Timur diangkat seorang
penghulu sebagai anggota dan viredesqerecht
ini akan memutuskan perkara-perkara kecil misalnya perselisihan-perselisihan
dalam perkawinan, penganiayaan, utang piutang, dan sebagainya.
Seperti
halnya VOC, Daendels menganggap hukum adat jawa yang terdiri dari hukum Islam
adalah lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa, oleh karena itu tidak cukup
baik untuk orang Eropa. Hal ini tampak jelas ketika terjadi seorang Eropa
melakukan kejahatan bersama-sama dengan orang Jawa asli, maka yang berhak untuk
mengadili mereka adalah Raad van Justitie
dan hukum materil yang diterapkan adalah hukum Eropa.
Pada tahun
1830 pemerintahan belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan “landraad” (pengadilan negeri). Hanya
lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan Pengadilan
Agama dalam bentuk “excecutoire
verklaring” (pelaksanaan putusan), Pengadilan Agama tidak berwenang untuk
menyita barang dan uang.
Dapat
disimpulkan bahwa potret peradilan agama pada awal penjajahan Belanda sudah
beroperasi secara maksimal, diakui dan diterapkan oleh kerajaan-kerajaan di
Indonesia, walaupun belum diakui sebagai lembaga resmi yang independen oleh
Belanda. hal ini bisa terjadi karena memang pengaruh Islam kuat sekali,
kemudian pengakuan dan legitimasi yang diberikan oleh penguasa juga sangat
mendorong berdirinya peradilan agama dan diakui keberadaannya serta
aktualisasinya. Ini sesuai dengan teori living law dan teori hukum
ketatanegaraan. Peradilan Agama pada mulanya masih eksis dan memiliki peran
penting pada masa awal penjajahan belanda, ini karena sesuai dengan teori living
law hukum yang hidup di masyarakat
dan yang mempengaruhi pola pikir mereka adalah hukum Islam, namun ketika
belanda berkuasa dan melancarkan politik hukumnya, peradilan agama dengan hukum
Islam yang diusungnya bersinggungan dengan hukum Eropa dan hukum adat, ketika
terjadi gap semacam ini maka kebijakan penguasalah yang paling menentukan,
pemerintah belanda dalam hal ini ingin menyingkirkan peradilan agama walaupun
masyarakat mayoritas muslim, ini tentunya tidak lepas dari pertimbangan politik
dari mereka[5], seperti terancamnya kekuasaan, ketakutan akan fanatisme yang
berlebihan dari rakyat jajahan, dsb.
b.
Sesudah tahun 1882 sampai tahun 1937 (Pemerintahan
Belanda I)
Setelah
masa Daendels sekitar tahun 1845, banyak
ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan masyarakat
Indonesia Islam merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya.
Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran agama
Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas
fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah
komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun
diberlakukan undang-undang agama Islam.
Bukti
Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam) berlaku bagi
orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan
perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van
nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR) staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad
tahun 1855 No. 2. Peraturan ini secara mengakui bahwa telah diberlakukan
undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk
Indonesia yang notabenenya beragama Islam.
Pasal 78 RR
berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli
atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada
putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau
ketentuan-ketentuan lama mereka”.
Lahirnya
firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24,
yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 telah mengubah susunan dan status Peradilan
Agama. serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan Pengadilan Agama yang
telah ada sebelumnya, ini adalah merupakan tonggak sejarah yang sangat penting
bagi Peradilan Agama, dengan adanya Staatblad 1882 no.152 yang di keluarkan
pada tanggal 1 Agustus 1882 ini[6], maka secara yuridis formal Peradilan Agama sebagai suatu badan
peradilan yang terkait dengan sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di
Indonesia.
Adapun wewenang Pengadilan
Agama yang disebut dengan "preisterraacf'”,
menurut Noto Susanto (1963: 7) perkara-perkara itu umumnya meliputi :
pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf,
shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya erat dengan agama Islam,
Staatblad
1882 no.152 berisi tujuh pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Disamping
setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan madura diadaklan satu Pengadilan
Agama, yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
Pasal 2
Pengadilan Agama
terdiri atas; penghulu yang diperbantukan kepada landroad sebagai ketua.
Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam
sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen
Pasal 3
Pengadilan
agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya
tiga anggota trermasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang
menentukan.
Pasal 4
Putusan
pengadilan agama dituliskan dengandisertai dengan alasan-alasannya yang
singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang
turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan pula ongkos yang
dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5
Kepada
pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang
ditandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan
pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar dan harus diserahkan kepada
residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan
pengukuhan
Pasal 7
Keputusan
pengadilan agama yang melampaui batas wewenang atau kekuasaannya atau tidak
memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) tidak dapat dinyatakan berlaku
Selain
Peradilan Agama pada saat itu terdapat lima buah tatanan peradilan, yaitu :
1.
Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda
2.
Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di
Karesidenan Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku,
dan di pulau Lombok dari Karesidenan Bali dan Lombok.
3.
Peradilan Swapraja, tersebar hamper di seluruh daerah swapraja,
kecuali di Pakualaman dan Pontianak.
4.
Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat Peradilan
Gubernemen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di
daerah-daerah swapraja dan menjadi bagian dari peradilan swapraja.
5.
Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan
Peradilan Gubernemen. Disamping itu ada juga Peradilan Desa yang merupakan
bagian dari Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.
Pengakuan
hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu sangat dipengaruhi
oleh pemikiran hukum sarjana barat L.W.C. Van De Berg, dia sebagai penasehat
kerajaan Belanda adalah konseptor Staatblad 1882 no.152[7]. Dia mengemukakan sebuah teori yang disebut teori “receptio in
complexu”, Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikaitkan
oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini, adalah
“hukum mengikat agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama
Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini menyebut
bagi rakyat pribumi yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya, walaupun
terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya”.
Teori ini
diangkat dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum VOC berkuasa di
Indonesia banyak kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma Hukum Islam.
Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan Hukum Islam antara lain kerajaan Samudra
Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, Ternate,
Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, dan
Palembang. Di Wilayah kerajaan tersebut diberlakukan Hukum Islam dan ada
lembaga peradilan agama, dengan pertimbangan ini maka sudah seharusnya
Peradilan Agama ada, termasuk juga di Batavia yang merupakan pusat pemerintahan
Hindia Belanda[8].
c.
Setelah tahun 1937 (Pemerintahan Hindia Belanda II)
Teori
Receptio In Complexu yang dikemukakan Van De Berg yang melatar belakangi
munculnya stanblaad tahun 1882 no.153 mendapat kritikan tajam oleh
Snouck Horgronje karena teori Receptio In Complexu bertentangan dengan
kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda, dan akhirnya dia mengemukakan
teori Receptio.
Menurut
teori Receptio dinyatakan “hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum
adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima
oleh hukum adat”. Maka dari itu sudah selayaknya jika diterapkan adanya
kebijakan bahwa hukum Islam bisa diterapkan sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum adat[9].
Pada tahun
1937 munculah Staatsblad 1937 Nomor 116, dengan stanblaad ini berarti telah
mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang
perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris harus diserahkan kepada
pengadilan negeri, mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa
dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam
pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura
serta di tempat-tempat lain diseluruh Indonesia.
Wewenang Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura berdasarkan ketentuan baru pasal 2a Staatblad 1837 meliputi
perkara-perkara sebagai berikut[10]
:
1.
Perselisihan
antar suami istri yang beragama Islam
2.
Perkara-perkara
tentang : a. nikah, b. talak, c. rujuk, dan d. perceraian antara orang-orang
yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama islam
3.
Menyelenggarakan
perceraian
4.
Menyatakan
bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al thalaq) telah ada.
5.
Perkara
mahar atau mas kawin.
6.
Perkara
tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Teori receptio
bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat
atau bahkan mengganti hukum Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk
memperkuat pemerintah kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial dalam
penyebaran agama kristen di wilayah Hindia Belanda.
Dengan ini pemerintah Belanda
melegislasi Peradilan Agama, namun dengan terselubung bermaksud mematikan
Peradilan Agama dengan cara sedikit demi sedikit mengurangi kewenangan serta
membiarkan tanpa pembinaan.
B. SEJARAH
PERADILAN ISLAM PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Tahun 1942 adalah tahun Indonesia
diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap
perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan
perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan
tidak mengalami perubahan, Sooryoo hoon untuk Radd
Agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tertinggi, berdasarkan
aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 maret 1942 No.1.
Pada zaman Jepang, posisi
pengadilan agama tetap tidak akan berubah kecuali terdapat perubahan nama
menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan
pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29 April 1942,
pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi
pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah balatentara). Dalam pasal 3 UU
ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari :
1. Tiho hooin (pengadilan negeri)
2. Keizai hooin (hakim poloso)
3. Ken hooin (pengadilan kabupaten)
4. Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)
5. Sooryoo hoon (raad agama)
Pada masa pendudukan Jepang
kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari
1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada
Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang
akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan
ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya
dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka kelak.
Akan tetapi dengan menyerahnya
Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan opada tanggal 17 agustus 1945,
maka pertimbangan dewan pertimbangan agung bikinan Jepang itu mati sebelum
lahir dan peradilan agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
Dapat
disimpulkan bahwa Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang ini baik posisi
maupun wewenangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, justru Jepang lebih
bersikap terbuka terhadap Islam dengan pengakuan dan pengukuhan adanya
Peradilan Agama, hanya istilah penyebutannya saja yang berbeda, ini tentunya
tidak terlepas dari kepentingan Jepang saat itu yang posisinya sedang kritis
dan terjepit sebagai dampak dari perang dengan tentara sekutu, jadi saat mereka
dalam keadaan lemah seperti ini tidak mungkin mereka merusak hubungan dengan
kaum muslim di Indonesia, langkah yang diambil adalah sikap lentur terhadap
Islam termasuk lembaga Peradilan Agama.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari
penjelasan yang telah dipaparkan di Atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa
poin diantaranya sebagai berikut :
1. Perjalanan
sejarah Peradilan agama mengalami pasang surut dalam hal posisi dan
kewenangannya, ini tidak lepas dari faktor keadaan politik dan kebijakan
penguasa, keadaan sosio historis masyarakat, serta gap antara empat hukum yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia, hukum Islam, hukum adat, hukum darat Eropa
(civil law), dan hukum kepulaun Eropa (common law)
2. Perubahan
Perbedaan posisi serta wewenang Peradilan Agama dapat dibedakan berdasarkan
periodesasi : masa transisi (awal penjajahan Belanda sampai tahun 1882), masa
Hindia Belanda I (tahun 1882), masa Hindia Belanda II (tahun 1937), dan masa
pendudukan Jepang (1942). Perbedaan posisi dan wewenang Peradilan Agama dalam
setiap periode beserta faktor yang mempengaruhinya dapat disimpulkan sebagai
berikut :
A.
Masa Transisi
(awal penjajahan sampai 1882) :
a.
Awal kolonial
ü Eksistensi :
Peradilan Serambi (PA eksis dalam masyarakat,
belum terlembaga dalam sistem kenegaraan)
ü Wewenang :
Hampir semua permasalahan masyarakat yang
berhubungan dengan apapun.
ü Faktor yang mempengaruhi :
1.
Keadaan sosial
masyarakat
2.
Pengaruh Islam
yang kuat
3.
Sesuai dengan Teori
Living law
b.
Masa VOC
(1620)
ü Eksistensi :
o Peradilan Agama hampir tersingkirkan,
o VOC ingin memberlakukan Hukum Sipil Belanda
pada daerah kekuasannya.
ü Wewenang :
Hukum Kewarisan ingin diambil alih juga oleh
Belanda.
ü Faktor yang mempengaruhi :
Kepentingan politik Belanda
c.
Masa tahun
1760
ü Eksistensi :
Berlakunya hukum perdata Islam diakui Belanda
dengan Resolutie Der Indische Regeling (kumpulan Hukum Perkawinan dan
Hukum Kewarisan Islam)
ü Wewenang :
Hukum Kewarisan diakui lagi oleh belanda.
ü Faktor yang mempengaruhi :
1.
Kepentingan
Politik Belanda
2.
Gejolak
masyarakat Indonersia
B.
Hindia Belanda
I
ü Eksistensi :
Peradilan
Agama menjadi Lembaga Peradilan Resmi secara formal sebagai bagian dari sistem
kenegaraan.
ü Wewenangnya :
o pernikahan, segala jenis perceraian, mahar,
nafkah, keabsahan anak, perwalian,
kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal
o Hukum mu’amalah dan pidana belum diakui.
ü Faktor yang mempengaruhi :
1.
Kebijakan
Politik Belanda
2.
Teori “receptio in complexu” oleh L.W.C. Van Den
Berg sesuai teori living law
C.
Hindia Belanda
II
ü Eksistensi :
Peradilan
agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal, namun wewenangnya dibatasi
ü Wewenangnya :
o masalah pernikahan saja
o wewenang dalam waris wakaf dan persengketaan
harta benda dihilangkan
ü Faktor yang mempengaruhi :
1.
Kebijakan
Politik Belanda (teori receptio a complexu bertentangan dengan kepentingan
Belanda)
2.
Teori “receptio” oleh Snouck
Horgronje
D.
Pendudukan
Jepang
ü Eksistensi :
Peradilan
agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal
ü Wewenangnya :
Wewenangnya
tidak ada perubahan yang jelas
ü Faktor yang mempengaruhi :
1.
Kebijakan
Politik Jepang
2.
Kelemahan
posisi pemerintahan Jepang
b.
Penutup
Demikian
makalah ini kami susun, apabila ada kesalahan diharapkan kritik dan saran dari
semua pihak, apabila ada kebenaran dari apa yang kami tulis itu semua adalah
murni pertolongan dan petunjuk dari Allah. Semoga tulisan ini dapat diambil
manfaat oleh para pembaca sebagai tambahan pengetahuan dalam mengarungi
samudera ilmu tuhan, dan menjadi amal bail penulis, amin.
DAFTAR PUSTAKA
M
Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsepKunci, Paramadina, Jakarta, 1996
Abdul
Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT.
RajaGrafindoPersada, 2000)
Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Jazuni,Legislasi
Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2005.
Mushofa, Sy. SH. MH. Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana,
2005.
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2010.
Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
[1] M Dawam Rahardjo, Prof.,
Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsepKunci,
Paramadina, Jakarta, 1996
[2] Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam
Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2000), Hal: 43
[3] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. h. 25
[9] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. h. 28-29
[10] Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003, h. 120.