BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perkembangan
zaman telah berjalan dengan begitu cepatnya, banyak kemajuan di segala lini
kehidupan menghantarkan manusia di era baru peradaban mereka yang sangat maju,
kemajuan tersebut membawa dampak positif yang sangat berharga bagi seluruh umat
manusia, namun dilain pihak juga menyisakan berbagai problem kemasyarakatan bagi
mereka, khususnya umat Islam, banyak problematika hidup yang membutuhkan solusi
real dari agama sebagai petunjuk bagi umat dalam menentukan sikap yang sesuai
dan dibenarkan oleh syara’.
Adalah sebuah
keniscayaan dari perkembangan peradaban dan problematika masyarakat yang
demikian komplek para sarjana muslim tentunya membutuhkan sebuah metode baru
yang lebih konkrit dan lebih solutif untuk dijadikan acuan sebagai dasar istinbath
hukum yang bisa menawarkan produk hukum yang selaras dengan perkembangan
zaman, salah satu konsep yang sangat gencar di garap dan di promosikan oleh
pemikir muslim adalah metode maqashid syari’ah.
Dalam metodologi
maqashid syari’ah sangat identik dengan pembahasan seputar tujuan-tujuan dan
hikmah ahkam al syari’ah sebagai sebuah tujuan pensyari’atan hukum yang sangat
perlu untuk dipertimbangkan dalam memahami serta menentukan hukum syari’at. untuk
memudahkan memahami konsep maqashid syari’ah seseorang harus mengetahui seluk
beluk maqashid (tujuan-tujuan syari’at) beserta berbagai macam kategori dan
pembagiannya, hal ini dimaksudkan agar ketika beristinbath dengan menggunakan
pendekatan maqashidi ia tidak akan salah menentukan maqashid apa yang ia
jadikan sandaran dan dasar pertimbangan hukum, misalnya dalam konsep maqashid
ada kategorisasi maqashid ‘ammah dan khashshah, ada maqashid
dlaruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat, ada maqashid ‘umumiyyah
dan fardiyyah atau juz’iyyah, ada maqashid al ashliyyah dan
maqashid al taba’iyyah, dsb. dalam proses penentuan hukum maqashid al
dlaruriyyat harus diunggulkan dari maqashid al hajiyyat, maqashid
‘ammah di dahulukan dari pada maqashid khashshah, maqashid
taba’iyyah tidak boleh kontradiksi dengan maqashid al ashliyyah,
demikian seterusnya.
Atas dasar
pentingnya pembahasan tentang macam-macam kategori maqashid penulis dalam
kesempatan ini akan membahas salah satu dari sekian banyak pembagian maqashid
al syari’ah, yaitu maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah. dengan
metode deskriptif akan dipaparkan secara komprehensif tentang ontology kedua
maqashid tersebut serta kaidah konseptual yang berkaitan dengannya.
B. RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana kita memahami ontology maqashid al ashliyyah dan maqashid
al taba’iyyah ?
2.
Bagaimakah epistemology maqashid al ashliyyah dan maqashid al
taba’iyyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MAQASHID AL SYARI’AH
Secara etimologi, maqashid al
syari’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata ; مقاصد dan الشريعة , maqsshid adalah bentuk plural dari مقصد (maqshad), قصد (qashd)[1], مقصد (maqhid), atau قصود (qushud) yang merupakan derivasi dari kata kerja قصد يقصد (qashada yaqshidu)
dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan
tidak melampaui batas[2],
jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan[3],
makna-makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata qashada dan
derivasinya dalam alquran. Sementara itu الشريعة secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam
terminology fiqh berarti hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah untuk
hamba-hamba-Nya, baik yang ditetapkan melalui alquran maupun sunnah nabi
Muhammad yang berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi, dalam definisi
yang lebih singkat al Raisuni menyatakan bahwa syari’at bermakna sejumlah hukum
’amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan
konsepsi aqidah maupun legislasi hukumnya.
Secara terminologis makna مقاصد الشريعة(maqashid al syari’ah) selalu mengalami perkembangan dari
makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistic. Di kalangan ulama
klasik sebelum al Syathibi belum ditemukan definisi yang konkret dan komprehensif
tentang maqashid al syari’ah, definisi mereka cenderung mengikuti makna
bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan maknanya, al Bannani memaknainya
dengan hikmah hukum, al asnawi mengartikannya dengan tujuan-tujuan hukum, al
samarqandi menyamakannya dengan makna-makna hukum, sementara al Ghazali, al
Amidi, dan Ibn al Hajib mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak
mafsadat, dari definisi yang bervariasi tersebut mengindikasikan kaitan erat maqashid
al syari’ah dengan hikmah, ‘illat, tujuan atau niat, dan
kemaslahatan. Ibnu Asyur sebagai seorang pengusung maqashid al syari’ah sebagai
sebuah cabang ilmu pengetahuan yang independent mendefinisikan مقاصد الشريعة (maqashid al syari’ah) sebagai berikut :
Makna-makna dan hikmah-hikmah yang
diperhatikan dan dipelihara oleh syari’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya,
hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah
dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum, dan makna syari’ah yang terkandung
dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak
diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum[4].
B.
PEMBAGIAN MAQASHID AL SYARI’AH
Para ulama maqashid banyak melakukan
klasifikasi maqashid dengan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda,
pengklasifikasian ini sangat penting karena akan membantu dalam proses
identifikasi maqashid bagi seorang praktisi hukum dalam memahami dan
menerapkannya dalam proses istinbath hukum melalui pendekatan maqashidi.
salah satu barometer pembagian Maqashid al Syariah adalah dengan
klasifikasi sebagai berikut :
a.
Dari sisi
subyektifitas
b.
Dari sisi
orisinalitas
c.
Dari sisi
universalitas
d.
Dari sisi
urgensitas
1. Maqasid As Syari' (Allah dan Rasul-Nya),
misalnya : Tujuan asal penciptaan syari'at, tujuan pemahaman syari'at, tujuan
pembebanan syari'at, tujuan pemasukan hamba ke dalam lingkup hukum.
2. Maqasid Al Mukallaf (hamba), seperti tujuan para hamba dalam keyakinan, ucapan dan
tindakannya
Dilihat dari sisi orisinilitas
maqashid al syari’ah terbagi menjadi dua[6]
:
1. Al Maqasid Al Ashliyah : tujuan yang tidak memperhatikan
kepentingan para hamba, (tidak ada pertimbangan hawa nafsu, kecenderungan dan
tabiat manusia), seperti tujuan keta’atan dalam kewajiban zakat.
2. Al Maqasid At Tabai'yah : tujuan yang memperhatikan hawa nafsu,
kecenderungan dan tabiat manusia. Seperti tujuan memenuhi kebutuhan fakir
miskin dalam ibadah zakat.
Dilihat dari sisi universalitas maqashid al syari’ah terbagi
menjadi dua[7]
:
1. Al Maqasid Al Amah : Makna dan hikmah yang selalu diperhatikan oleh As Syari'
(Allah dan rasul-Nya) dalam setiap atau mayoritas proses tasyri'
(pensyari'atan), seperti Ad Dharuriyat (kemaslahatan primer)
2. Al Maqasid Al Khassah : Makna dan hikmah yang diperhatikan pada
bab atau hukum tertentu, seperti tujuan menghapus intimidasi kaum perempuan
dalam fikih usrah (keluarga), tujuan membuat jerah dalam Al Jinayat
(kriminal) dan tujuan mengantisipai penipuan dalam Al Mu'amalah Al Maliyah
(transaksi)
Dilihat dari sisi urgensitas
maqashid syari’ah terbagi menjadi tiga[8]:
1. Dharuriyat : Kemaslahatan yang dibutuhkan oleh seluruh umat manusia, apabila tidak
dipenuhi maka akan sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan, bisa berakibat
fatal
2. Hajiyat : tujuan untuk kemudahan dan kenyamanan
dalam menjalani kehidupan
3. Tahsiniyat : tujuan yang berkisar pada budi pekerti
dan keluhuran akhlak, keindahan interaksi sosial dan tradisi.
Barometer subyektifitas,
orisinalitas, universalitas dan urgensitas adalah hasil
ijtihad para ulama maqashid, Abu Ishak As Syatibi, menambahkan istilah Juz'iyah
(parsial) dan Kulliyah (universal) tekait barometer universalitas[9],
Ibnu Asyur menambahkan perspektif validitas, menghasilkan pembagian maqashid
al syari’ah ke dalam Qathiyah (pasti) dan Dzanniyah
(dugaan)[10].
Setelah penulis
memaparkan klasifikasi maqashid syari’ah dalam berbagai perspektif, di
bawah ini akan dibahas secara spesifik tentang maqashid al ashliyyah
dan maqashid al taba’iyyah.
C. MAQASHID AL ASHLIYYAH DAN MAQASHID AL TABA’IYYAH.
a.
Maqashid al Ashliyyah
1. Definisi Maqashid al Ashliyyah
Imam Syathibi
mendefinisikan maqashid ashliyah sebagai maqashid (tujuan-tujuan)
yang tidak memperhatikan kepentingan
para hamba, (tidak ada pertimbangan hawa nafsu, kecenderungan dan tabiat
manusia), misalnya seperti tujuan keta’atan dalam kewajiban zakat. Maqashid
al ashliyyah ini sebagaimana dlaruriyat al khams
yang selalu dipertimbangkan oleh setiap agama, maqashid ashliyah tidak
mempertimbangkan kepentingan individu hamba karena maqashid ini
berhubungan dengan kemaslahatan umum, tidak berkaitan dengan situasi, kondisi,
serta perbedaan tempat dan waktu. Maqashid ini bersifat universal dan
berlaku sepanjang zaman dimanapun manusia berada[11].
Maslahah yang
dikehendaki dalam maqashid al ashliyah lebih besar dibandingkan
kemaslahatan yang hendak diwujudkan dalam maqashid taba’iyyah, karena
menurut logika tidak mungkin syari’ yang pada awalnya mensyari’atkan
sesuatu demi kemaslahatan yang lebih kecil dari pensyari’atan hukum lain yang
tujuannya untuk mewujudkan mashlahah yang lebih besar padahal merupakan
pelengkap (wasilah) syariat yang pertama[12].
Maqashid al ashliyyah ini adalah dlaruriyyat al khams (hifdh al din, hifdh al nafs,
hifdh al nasl, hifdh al ‘aql, hifdh al mal), yang merupakan kemaslahatan
yang paling besar dan semua agama pasti memperhatikan pentingnya kemaslahatan
ini untuk diwujudkan[13].
2. Contoh Maqashid al Ashliyah
Tujuan asal
dari pensyari’atan ibadah shalat adalah berserah diri dan merendahkan diri,
tunduk, merasa betul-betul hina, kecil di hadapan Allah, mengesakan Allah dan
meniadakan yang lain dengan menghadapkan jiwa dan raga kepada-Nya.
Tujuan asal
disyari’atkannya ibadah puasa adalah ketundukan, ibadah, dan menjalankan
perintah Allah.
Tujuan asal
disyari’atkan zakat adalah menjalankan perintah Allah, memperlihatkan rasa
syukur, dan bentuk pujian kepada-Nya, mensucikan jiwa, dan mensucikan harta.
Tujuan haji
adalah beribadah dan menjalankan perintah Allah yang terwujud dalam rangkaian manasik
haji berupa aktifitas dan ucapan dzikir pengagungan terhadap Allah dan sya’arir
al din.
o Dalam Mu’amalat[15]
Tujuan
utama setiap bentuk transaksi dalam Islam sebenarnya dimaksudkan oleh syari’
sebagai upaya untuk memelihara harta, mendorong manusia untuk bekerja dan
berusaha mendapatkan rizki dengan jalan yang halal, dan menjadikannya sebagai
sarana beribadah kepada Allah sehingga mendapatkan pahala di hari kelak
kemudian.
Tujuan
utama pernikahan adalah mendapatkan keturunan demi kelangsungan hidup manusia
dengan adanya regenerasi dan meramaikan dunia, memelihara nasab dan harga diri
seseorang.
Disyari’atkannya
hukuman dalan kasus tindak pidana mengandung tujuan utama yaitu mewujudkan
keadilan dengan pemberian ganti rugi bagi orang yang menjadi korban, menjadi
penebus kesalahan pelaku, dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana
agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
3. Pentingnya menjaga maqashid al ashliyyah.
Pentingnya menjaga maqashid
al ashliyah adalah karena beberapa alasan sebagaimana berikut[18]
:
1. Dengan menjaga maqashid al ashliyah berarti sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh syari’ dalam menurunkan syari’atnya, karena
maksud syari’ adalah terbebasnya manusia dari belenggu hawa nafsunya dan
menjadi hamba Allah yang taat.
2. Dengan menjaga maqashid al ashliyyah berarti amal ibadah manusia
bisa dianggap mendekati keikhlasan, amal kebaikannya murni sebagai ibadah dan tidak
tercampuri oleh tujuan-tujuan lain selain hanya untuk menghambakan diri kepada Allah.
Karena orang yang menjalankan perintah syara’ tanpa memperhatikan tujuan
duniawi dan kepentingan-kepentingan pribadi dia berarti melakukannya hanya demi
Allah semata, dan inilah hakikat ikhlas.
3. Bahwa ketika seseorang berpijak pada maqashid al ashliyyah, maka
semua bentuk aktivitasnya akan menjadi sebuah ibadah, baik itu berupa ibadat
atau adat, sebab apabila seseorang paham terhadap apa yang
dikehendaki oleh syari’ dari keadaan dan hal-hal yang ada di dunia
kemudian amal perbuatannya selalui ia lakukan berlandaskan pemahamannya
tersebut, ketika melakukan sesuatu tentunya itu berdasarkan karena hal tersebut
merupakan tuntutan syara’, dan ketika meninggalkan sesuatu juga berdasarkan
karena itu merupakan larangan syara’, dia akan selalu menjadi penolong dalam
mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia baik melalui kekuatan, lisan,
maupun hatinya.
Sebagai contoh dalam perkara adat (mu’amalat),
ketika seseorang melakukan suatu perbuatan atas dasar kepentingan pribadinya
tanpa dasar mewujudkan mashlahah al ashliyah, sebenarnya pada dasarnya
dia melakukan perkara sesuai dengan perintah syara’, namun dia tidak akan
mendapatkan apa-apa dan amalnya tidak terhitung sebagai ibadah, seperti orang
yang menikah atas dasar keinginan untuk memenuhi nafsu biologisnya dan
pertimbangan-pertimbangan tujuan duniawi lainnya, namun tidak mempertimbangkan
tujuan mewujudkan maqshad al ashli (tujuan dasar syara’) dalam
mensyari’atkan pernikahan untuk menjaga keturunan dan menjaga kehormatan diri, nikahnya
orang tersebut tidak akan mendapatkan pahala apa-apa, karena perkara mubah
tidak akan mendapatkan pahala kecuali ketika dilakukan dengan niat untuk
mendekatkan diri kepada Allah, berbeda dengan orang yang menikah yang tujuannya
menjaga keturunan atau kehormatan diri demi mewujudkan maqashid al ashliyah
sebagai bentuk upaya mendekatkan diri kepada Allah, maka nikahnya walaupun
merupakan perkara mubah termasuk bentuk ibadah yang akan mendapatkan pahala.
4. Atas dasar maqashid al ashliyyah sebuah amal biasanya bisa berubah
menjadi wajib, karena maqashid alashliyyah akan berkisar dalam hukum wajib
ketika merupakan bentuk pemeliharaan terhadap hal-hal yang bersifat dlaruriyyat
dalam agama.
5. Maqashad ashli memuat semua tujuan syari’ yang intinya mewujudkan kemaslahatan
dan meniadakan kemafsadatan baik di dunia maupun akhirat dalam setiap hukum
syari’at, sehingga ketika manusia melaksanakan sesuatu atas dasar ini berarti
dia bermaksud menjalankan perintah syari’.
6. Menjalankan aktifitas apapun yang sesuai dengan maqashid al ashliyyah
akan menjadikan sebuah ketaatan lebih besar pahalanya, demikian juga akan
menjadikan sebuah kemaksiatan lebih besar balasannya.
b.
Maqashid al Taba’iyyah
1. Definisi maqashid al taba’iyyah
Imam Syathibi mendefinisikan maqshid al
taba’iyyah sebagai tujuan yang memperhatikan hawa nafsu, kecenderungan dan
tabiat manusia, sebagaimana tujuan memenuhi kebutuhan fakir miskin dalam ibadah
zakat. Hal ini disebabkan karena kebijaksanaan Allah yang maha mengetahui
menghendaki segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang bersifat ukhrawi
maupun duniawi agar berlangsung mempertimbangkan kebutuhan manusia dan untuk
memelihara kemaslahatan mereka.
2. Contoh maqashid al taba’iyyah
o Dalam Ibadat
Maqashid al taba’iyyah dalam
ibadat misalnya dalam permasalahan shalat, ibadah shalat memiliki dua tinjaun maqashid,
ashliyyah dan taba’iyyah, tujuan asal (al maqshad al ashli)
disyariatkannya shalat untuk merendahkan diri di hadapan Allah, ikhlas
menghadap kepada-Nya, bersimpuh di bawah telapak kaki kuasa-Nya dengan segala
kerendahan dan kehinaan, dan mengingatkan diri dengan berdzikir kepada-Nya.
Adapun maqshad al taba’iyyah shalat seperti mencegah perbuatan
keji dan munkar, beristirahat dari kejemuan dan kesibukan-kesibukan
permasalahan dunia[19].
Maqashid taba’iyyah puasa adalah mencegah
kemungkinan-kemungkinan tipu daya setan, dan membantu membentengi diri ketika
dalam keadaan sendiri karena akan terbiasa ingat kepada Allah serta menjaga
diri dari melakukan larangan-Nya
walaupun tidak ada orang yang melihat[20].
Maqashid al taba’iyyah dalam
pensyari’atan zakat adalah perkembangan masyarakat dalam bidang perdagangan,
perindustrian sehingga ekonomi mereka menjadi kuat, membantu memenuhi kebutuhan
fakir miskin dan orang yang tidak mampu lainnya[21].
Maqashid al taba’iyyah dalam
pensyari’atan haji adalah keuntungan-keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia pada moment tersebut untuk meningkatkan sektor perekonomian dan
kepentingan penyelidikan[22].
o Dalam Munakahat
Maqashid taba’iyyah dalam permasalahan dalam
pensyari’atan nikah seperti keinginan istimta’, ini merupakan
tujuan yang mengikuti tujuan asli yaitu memelihara keturunan, Allah menjadikan
tujuan ini sebagai kodrat dalam diri manusia, sebagai pendorong mereka untuk
mewujudkan maqshad al ashli (tujuan utama)[23].
o Dalam Mu’amalat
Maqashid taba’iyyah dalam pensyari’atan mu’amalat
adalah terpenuhinya kebutuhan duniawi manusia, sebagai makhluq social mereka
memiliki naluri yang membutuhkan segala sesuatu untuk kepentingan
keberlangsungan hidup, sehingga tidak akan bisa lepas dari interaksi dengan
makhluk social yang lain, manusia membutuhkan makan, minum, pakaian, sandang
pangan, uang, dsb. Itu semua tidak dapat berlangsung secara harmonis apabila
tidak ada aturan yang jelas dari agama yang mengatur praktek mu’amalat
yang baik dan sehat sehingga tidak akan timbul aktifitas yang saling merugikan
antara satu individu dengan lainnya dalam proses mu’amalat[24].
o Dalam Jinayat
Maqashid al taba’iyyah dalam
permasalahan jinayat adalah tujuan untuk meredakan emosi korban serta
menumbuhkan kerelaan dalam hatinya, sehingga akan terhindar dari balas dendam
yang berlebihan dan main hakim sendiri[25].
o Dalam Adat
Contoh lain seperti syahwat/keinginan yang mendorong orang makan atau
minum ketika dalam keadaan lapar dan dahaga, hal ini merupakan maqshad tabi’
(tujuan yang mengikuti/perantara/sarana) terhadap tujuan asal (maqshad
al ashli) yaitu hifdh al nafs (memelihara jiwa).
Semua ibadah mempunyai
faidah serta manfaat ukhrawiyyah dan juga mengandung manfaat-manfaat
duniawiyah, faedah yang bersifat ukhrawiyah adalah faedah ‘ammah
yang disebut juga al ashliyyah, dan yang bersifat duniawiyah disebut
faedah taba’iyyah[26].
Dari pemaparan di atas
dapat dipahami bahwa maqashid al taba’iyyah merupakan sarana penunjang
untuk mewujudkan al maqashid al ashliyyah dan menyempurnakannya.
Seandainya tidak karena rahmat Allah kepada hambanya, tentu Dia akan
memberatkan manusia dengan tidak menciptakan kodrat manusiawi dalam diri
hambanya hal-hal yang menjadikan mereka tertarik untuk melakukan sesuatu yang
bersifat duniawi demi kepentingan akhirat. Maqashid al ashliyyah hanya
berorientasi pada penghambaan (ubudiyyah), sedangkan maqashid al
taba’iyyah mengandung unsur belas kasihan Allah terhadap hamba-hamba-Nya[27].
3. Tingkatan maqashid al taba’iyyah,
hukum, dan kehujjahannya.[28]
Maqshid al Thabiah adalah merupakan maqashid turunan
yang mendukung dan melengkapi maqashid al ashliyyah, keduanya
berhubungan erat dan saling melengkapi. Tidak tercapainya maqashid al
ashliyyah bisa dipastikan mengakibatkan tidak tercapainya maqashid al
tabi’ah, sedangkan tidak terpenuhinya maqashid al tabi’ah sedikit
banyak biasanya akan berpengaruh pada cacatnya maqashid al ashliyyah,
dengan melihat hubungan antara keduannya tingkatan maqashid al tabi’ah
ini terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Maqashid tabi’ah sebagai penegas dan penguat maqashid ashliyyah, ini disebut
sebagai maqashid al tabi’ah al masyru’ah. Maqashid ini ada
pada permasalahan ibadat maupun mu’amalat, disyari’atkan dan
diperbolehkan karena sebagai pendorong terwujudnya maqashid ashliyyah.
Contoh dalam ibadah seperti orang yang bertujuan dalam ibadahnya untuk
mendapatkan taufiq dari Allah, terkabul setiap doanya, Allah akan menjaga dirinya,
keluarga, dan harta bendanya, tujuan-tujuan ini semuanya merupakan hal-hal yang kembalinya
pada kemanfatan yang akan diraih seorang hamba, namun di perbolehkan beramal
dengan disertai tujuan tersebut karena sifatnya menguatkan dan mengukuhkan
eksistensi maqashid ashliyyah.
Contoh dalam mu’amalat dan adat
seperti orang yang nikah dengan terpenuhinya hasrat biologis, ketenangan dan
ketentraman jiwa dalam rumah tangga, dsb. Dengan adanya tujuan-tujuan seperti
ini akan tercapai tujuan asal dari pernikahan yaitu melestarikan keturunan,
sebab dengan tujuan-tujuan tersebut seseorang dengan sendirinya akan terdorong
melakukan pernikahan dengan tujuan asal pensyari’atannya untuk memperoleh anak,
dan melestarikan keturunan.
2. Maqashid tabi’ah yang bertentangan dengan maqashid ashliyyah, disebut dengan maqashid
tabi’ah ghoiru masyru’ah. tujuan mukallaf dalam menjalankan
syari’at karena hal-hal yang
bertentangan dengan maksud asal pensyariatannya. ini tidak diperbolehkan dan
tujuan tadi tidak dianggap dan ditolak oleh syara’.
Contoh dalam úbudiyyah adalah orang yang melakukan ibadah dengan
tujuan akar dilihat dan didengar oleh orang banyak agar mendapat pujian,
mendapat imabalan harta, atau disukai oleh mereka. Tujuan-tujuan seperti ini
tidak diperbolehkan dan merusak ibadahnya, karena tujuan dasar ibadah
dimaksudkan untuk mengesakan Allah, menghadap Allah dengan tulus tanpa disertai
kemunafikan, riya’, dan memamerkan diri, agar termasuk orang yang ahli ibadah,
zahid, bertaqwa, dan shalih.
Contoh dalam permasalahan mu’amalat seperti orang yang nikah
dengan tujuan mut’ah, nikah dalam batas waktu tertentu, atau sebagai muhallil
bagi istri yang telah di thalaq ba’in oleh suaminya agar bisa dinikah
lagi. Tujuan-tujuan tersebut bertentangan dengan spirit dasar nikah untuk
menghasilkan keturunan, oleh karena itu nikah dengan dasar maqashid
taba’iyyah (tujuan-tujuan pribadi) yang
bertentangan dengan maqashid ashliyyah tersebut tidak diperbolehkan.
3. Maqashid tabi’ah yang berada diantara dua tingkatan maqashid di atas. Pelengkap
dan penguat maqashid ashliyyah, sekaligus kontradiksi dan bertentangan
dengannya (maqashid al tabi’ah baina al martabatain al mukhtalaf fiha).
Maqashid tabi’ah ini adalah yang diperselisihkan ulama, cara menentukan
kemungkinan terkuat dan terjelas akan dikategorikan pada tingkatan yang pertama
atau kedua tergantung jtihad dan analisa yang benar dan jeli dari
seorang mujtahid.
Contohnya orang yang menutut ilmu dan mengarang kitab, tujuan asalnya (maqashid
ashliyyah) adalah beribadah dan taat kepada Allah, terkadang tujuan orang
dalam hal ini agar mendapat pujian, ketenaran, dan ucapan terima kasih dari
masyarakat, ketika tujuan melakukannya atas dasar ini maka hukumnya tidak boleh
karena bertentangan dengan tujuan asal (maqshad ashliy), bisa juga orang
melakukannya dengan tujuan untuk kepentingan pendidikan, acuan keilmuan, dan
menuntut ilmu serta nasyr al ilmi, tujuan-tujuan seperti ini
diperbolehkan oleh syara’. Dari contoh tersebut bisa dipahami bahwa satu amalan
ada kemungkinan dilakukan dengan maksud dan tujuan yang berbeda, boleh tidaknya
ibadah tersebut akhirnya melihat pertimbangan maqashid tabi’ah yang
melatar belakangi seseorang melakukan sesuatu. Yang perlu diperhatikan hanya
apakah factor tersebut sebagai penguat terwujuadnya maqashid ashliyyah
dan tidak bertentangan dengannya, atau factornya kontradiksi dan justru maqashid
ashliyyah yang mengikuti (merupakan turunan) kepada maqashid tabi’ahnya,
ketika demikian maka jelas bathal dan tidak diperbolehkan[29].
c.
Persamaan dan Perbedaan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah.
1.
Persamaan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah.
Antara maqashid al
ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah keduanya memiliki kesamaan
dalam beberapa hal, yaitu[30]
:
1. Keduanya termasuk maqashid al syari’ah yang dikehendaki oleh syari’
dalam setiap hukum yang disyariatkan, setiap hukum syara’ menunjukkan tujuan dan hakikatnya, dan
menghendaki terwujudnya maslahah dan kemanfaatan serta kebaikan baik di dunia
maupun di akhirat, bagi individu, masyarakat, seluruh umat manusia, dan semua
makhluk hidup yang ada dimuka bumi.
2. Keduanya ditetapkan oleh adillah al syar’iyyah al mu’tabarah,
disarikan dari nash-nash agama, ijma’, serta hasil analisa melalui istinbath,
ijtihad, dan istiqra’.
2.
Perbedaan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah.
Dari penjelasan yang sudah dipaparkan di atas
dengan jelas dapat dipahami perbedaan antara maqashid al ashliyyah dan maqashid
al taba’iyyah, perbedaan tersebuat sebagai berikut[31]
:
1.
Maqashid al
ashliyyah merupakan tujuan asal / tujuan utama dari pensyariatan
hukum, sedangkan maqshid al taba’iyyah adalah tujuan pelengkap
dan merupakan turunan dari maqashid al ashliyyah, penguat hikmahnya,
motifasi pendorongnya, dan sebab yang bisa memunculkan keinginan untuk
mewujudkan maqashid al ashliyyah.
2.
Maqashid al
ashliyyah berkisar pada hukum wajib dilihat dari
statusnya sebagai pemelihara perkara-perkara dlaruriyyat dalam agama
yang harus dijaga berdasarkan kesepakatan ulama, sedangkan maqshid al
taba’iyyah bisa wajib, mubah, atau makruh. Terkadang hukumnya boleh (mubah)
secara parsial dan universal, atau boleh secara parsial saja, dan adakalanya
boleh (mubah) secara parsial namun
dilarang (makruh) secara universal, hal ini karena maqashid al taba’iyyah
spiritnya adalah pemeliharaan keinginan manusiawi seorang hamba yang hal ini
bukan sesuatu yang wajib. Maqashid al taba’iyyah berstatus wajib ketika merupakan perantara bagi terwujudnya perkara
yang hukumnya wajib.
3.
Al maqashid al
ashliyyah tuntutannya sangat dipertegas untuk
diwujudkan karena jika tidak manusia akan meremehkannya, hal ini mengakibatkan
mashlahah ‘ammah tersia-siakan, sebab manusia kebaikan dan keuntungannya
tidak berkaitan dengan hasrat manusia, untuk merangsangnya tuntutan
perwujudannya harus dipertegas. Adapun maqashid al taba’iyyah karena
berhubungan dengan hasrat dan keinginan manusia, maka tuntutannya tidak perlu
dipertegas, sebab naluri kemanusiannya akan dengan sendirinya condong untuk
berusaha mewujudkan apa yang menjadi keinginan dan hasrat serta hajatnya.
d. Kaidah-kaidah maqashid al ashliyyah dan
maqashid al taba’iyyah[32]
Ada beberapa kaidah
metodologis dalam menyikapi sebuah permasalahan yang memiliki keterkaitan
dengan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah, kaidah
ini sebagai acuan untuk menyikapi semua bentuk ‘amaliyyah yang tidak
terlepas dari maksud dan tujuan sebenarnya yang dikehendaki oleh syari’
namun juga tidak terlepas dari pertimbangan kemaslahatan yang kembali kepada
semua makhluq. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Maqashid al tabi’ah adalah maqashid yang dikehendaki oleh syari’
2. Maqashid tabi’ah ada tiga macam; pertama, sebagai penguat maqashid ashliyyah
dan menumbuhkan keinginan untuk mewujudkannya, ini termasuk yang menjadi maksud
dari syari’. Kedua, yang mendorong hilangnya (tidak tercapainya) maqashid
ashliyyah, maqashid tabi’ah ini kontradiksi dengan maksud dari syari’.
Ketiga, maqashid tabi’ah yang tidak berhubungan erat dengan maqashid
ashliyyah dan bukan sebagai penguat terhadapnya, namun tidak kontradiksi
dan tidak menyebabkan maqashid ashliyyah tereliminasi, tujuan pelengkap
yang seperti ini diperbolehkan dalam urusan adat saja sedangkan dalam
permasalahan ibadat tidak bisa ditolerir[33].
3. Tujuan pelengkap ketika dalam pelaksanaannya didasari dengan niat dan
tujuan asal atas pensyari’atan hukum amaliyah tertentu maka dihukumi sama
dengan maqshad al ashli[34].
4. Maqashid taba’iyyah (tujuan pelengkap) ketika menjadi penentu wujudnya maqashid al
ashliyyah, merupakan penguat hikmahnya, dan mendorong keinginan untuk terus
melestarikan dan mempertahankannya maka hal ini sama dengan tujuan asal dari syari’,
diperhitungkan baik maqashid taba’iyyah tersebut di legitimasi oleh nash
ataupun tidak, di secara implisit di isyaratkan nash atau diketahui
dengan dalil lain seperti analisa dengan metode induksi terhadap nushus al
syar’iyyah[35].
5. Maqashid al taba’iyyah
yang diperbolehkan dan dipertimbangkan adalah yang merupakan penguat dan
mendukung tujuan asal ibadah, bukan justru merusak nilai keikhlasan[36].
6. Maqashid al ashliyyah adalah sebagai penyempurna bagi maqashid al ashliyyah, jadi harus
diposisikan sebagai pertimbangan dan niat yang kedua setelah tujuan asal[37].
7. Maqashid al taba’iyyah dikehendaki oleh syari’ sebagai tujuan kedua, dengan demikian ia
tidak dianggap ketika dalam kenyataannya justru merusak dan mencacatkan tujuan
asalnya sebagai tujuan utama[38].
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setelah
penulis memaparkan penjelasan yang panjang lebar tentang mqashid al
ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah serta hal-hal yang berhubungan
denganya, dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa poin penting
diantaranya sebagai berikut :
1. Maqashid al ashliyyah adalah merupakan tujuan asal dari syari’ dalam pensyariatan hukum
agama, dan tujuan utama dibalik setiap hukum syara’. Adapun maqashid al
taba’iyyah adalah tujuan pelengkap dan tujuan sekunder dari pensyari’atan
hokum syara’, maqashid ini biasanya mengakomodir tujuan-tujuan dari mukallaf
sebagai bentuk rahmat dan belas kasihan Allah karena memandang naluri
manusiawinya.
2. Maqashid al ashliyyah sebagai tujuan utama dan kehendak Allah dalam memberikan syari’at
tentunya harus di pelihara dan diprioritaskan dari pada maqashid al
taba’iyyah. maqashid al ashliyyah bisa merubah amaliyyah seseorang
yang sebenarnya hanya mubah menjadi sunnah hukumnya dan menjadi amal
yang pahalanya lebih tinggi, tidak demikian halnya dengan maqashid al
taba’iyyah.
3. Maqashid al taba’iyyah sebagai tujuan sekunder dan pelengkap bagi maqashid al ashliyyah
tentunya sama-sama di maksudkan oleh syari’ agar terwujud, keduanya diakui
sebagai tujuan yang harus dipenuhi sehingga keabsahannya mendapatkan legitimasi
dari syara’ melalui nash-nash al syar’iyyah.
4. Maqashid al taba’iyyah sebagai pelengkap dan pendukung bagi maqashid al ashliyyah dalam
prakteknya tidak boleh kontradiksi dengannya, apalagi sampai menggugurkan
tujuan asal tersebut.
B.
PENUTUP
Demikian
pemaparan tentang maqashid al ashliyah dan al taba’iyyah, semoga
dapat memberikan tambahan informasi yang berguna bagi para pembaca, menjadi
sumbangsih yang berharga bagi dunia keilmuan Islam saat ini. Apabila ada
kekurangan dan kesalahan, dimohon kritik saran yang membangun sebagai koreksi
bagi terwujudnya penulisan yang lebih baik, dan apabila ada kebenaran semua
adalah berkat hidayah dan rahmat Allah SWT. Akhir kata wa bi Allah al taufiq
wa al hidayah, Allah a’lamu bi al shawab, wassalamu’alaikum wr.wb.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishaq
Ibrahim bin Musa al Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul al Syari’at, Tahqiq
al Syaikh Abdullah Darraz, Alexandria; Dar al Fikr al ‘Arabi, tt.
Abu al Fadhl
Muhammad bin Mukrim bin Mandzur, Lisan al ‘Arab, Vol. 3, Beirut; Dar
Shadir, 1300 H
Ahmad Bin
Muhammad Bin Ali al Fayumi al Muqri, Al Mishbah al Munir Fi Gharib al Syarh
al Kabir li al Rafi’I , Beirut; Maktabah Lubnan, 1987
Dr. Abdul Aziz
Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al
Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002
Dr.
Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh;
Maktabah al ‘Abikan, 2001
Dr.
Muhammad Bakr Isma’il Habib, Maqashid al Syari’ah Ta’shilan wa Taf’ilan,
Kairo; Rabithah al ‘Alam al Islami, 1427 H
Dr.
Raihanah al Banduzi, Muhadlarat fi al Maqashid al Syari’ah, www. Chariaafes.com
Fairuz Abadi,
Al Qamus al Muhith, Beirut; Muassasah al Risalah, 1987
Muhammad
Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais,
2001
[1] Ahmad Bin Muhammad Bin
Ali al Fayumi al Muqri, Al Mishbah al Munir Fi Gharib al Syarh al Kabir li
al Rafi’I , Beirut; Maktabah Lubnan, 1987, h. 192
[3] Fairuz Abadi, Al Qamus al Muhith, Beirut; Muassasah al Risalah,
1987, h. 396, bisa juga dilihat di Abu al Fadhl Muhammad bin Mukrim bin
Mandzur, Lisan al ‘Arab, Vol. 3, Beirut; Dar Shadir, 1300 H, h. 355.
[4] Muhammad Thahir Ibn
‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais,
2001 h. 251
[5] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar
al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan,
2001 h. 71
[8] Op. Cit. h. 71
[9] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Syathibi, Al Muwafaqat Fi
Ushul al Syari’at, Tahqiq al Syaikh Abdullah Darraz, Alexandria; Dar al
Fikr al ‘Arabi, Juz II h. 54-61
[10] Muhammad Thahir Ibn
‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais,
2001 h. 231
[12] Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin
Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al
Saudiyah, 2002, h.183
[14] Dr.
Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah
al ‘Abikan, 2001 h. 171-175
[18] Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid
al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002, h.184-185
[19] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar
al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan,
2001 h. 171
[23] Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid
al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002, h.186
[24] Muhammad Thahir Ibn
‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais,
2001, h. 450-477
[25] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar
al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h.
187
[28] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar
al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan,
2001 h. 160
[29] Contoh-contoh lain yang lebih
jelas bisa dilihat di “Al Muwafaqat” karya Al Syathibi, Juz II tentang maqashid
ashliyyah dan al tabi’ah.
[30] Dr.
Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh;
Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 158
[31] Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman
Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al
‘Arabiyah al Saudiyah, 2002, h.187-189
[32] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar
al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan,
2001 h. 255
[33] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Syathibi, Al Muwafaqat Fi
Ushul al Syari’at, Tahqiq al Syaikh Abdullah Darraz, Alexandria; Dar al
Fikr al ‘Arabi, Juz II h. 407
Tidak ada komentar:
Posting Komentar