Selasa, 21 Februari 2017

KONSEP MAQASHID SYARI'AH (Maqashid Ashliyyah dan Taba'iyyah)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Perkembangan zaman telah berjalan dengan begitu cepatnya, banyak kemajuan di segala lini kehidupan menghantarkan manusia di era baru peradaban mereka yang sangat maju, kemajuan tersebut membawa dampak positif yang sangat berharga bagi seluruh umat manusia, namun dilain pihak juga menyisakan berbagai problem kemasyarakatan bagi mereka, khususnya umat Islam, banyak problematika hidup yang membutuhkan solusi real dari agama sebagai petunjuk bagi umat dalam menentukan sikap yang sesuai dan dibenarkan oleh syara’.
Adalah sebuah keniscayaan dari perkembangan peradaban dan problematika masyarakat yang demikian komplek para sarjana muslim tentunya membutuhkan sebuah metode baru yang lebih konkrit dan lebih solutif untuk dijadikan acuan sebagai dasar istinbath hukum yang bisa menawarkan produk hukum yang selaras dengan perkembangan zaman, salah satu konsep yang sangat gencar di garap dan di promosikan oleh pemikir muslim adalah metode maqashid syari’ah.
Dalam metodologi maqashid syari’ah sangat identik dengan pembahasan seputar tujuan-tujuan dan hikmah ahkam al syari’ah sebagai sebuah tujuan pensyari’atan hukum yang sangat perlu untuk dipertimbangkan dalam memahami serta menentukan hukum syari’at. untuk memudahkan memahami konsep maqashid syari’ah seseorang harus mengetahui seluk beluk maqashid (tujuan-tujuan syari’at) beserta berbagai macam kategori dan pembagiannya, hal ini dimaksudkan agar ketika beristinbath dengan menggunakan pendekatan maqashidi ia tidak akan salah menentukan maqashid apa yang ia jadikan sandaran dan dasar pertimbangan hukum, misalnya dalam konsep maqashid ada kategorisasi maqashid ‘ammah dan khashshah, ada maqashid dlaruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat, ada maqashid ‘umumiyyah dan fardiyyah atau juz’iyyah, ada maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah, dsb. dalam proses penentuan hukum maqashid al dlaruriyyat harus diunggulkan dari maqashid al hajiyyat, maqashid ‘ammah di dahulukan dari pada maqashid khashshah, maqashid taba’iyyah tidak boleh kontradiksi dengan maqashid al ashliyyah, demikian seterusnya.
Atas dasar pentingnya pembahasan tentang macam-macam kategori maqashid penulis dalam kesempatan ini akan membahas salah satu dari sekian banyak pembagian maqashid al syari’ah, yaitu maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah. dengan metode deskriptif akan dipaparkan secara komprehensif tentang ontology kedua maqashid tersebut serta kaidah konseptual yang berkaitan dengannya.
B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kita memahami ontology maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah ?
2.      Bagaimakah epistemology maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah ?










BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN MAQASHID AL SYARI’AH
Secara etimologi, maqashid al syari’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata ; مقاصد  dan الشريعة  , maqsshid adalah bentuk plural dari مقصد  (maqshad), قصد (qashd)[1], مقصد (maqhid), atau قصود (qushud) yang merupakan derivasi dari kata kerja قصد يقصد  (qashada yaqshidu) dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas[2], jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan[3], makna-makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata qashada dan derivasinya dalam alquran. Sementara itu الشريعة secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam terminology fiqh berarti hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya, baik yang ditetapkan melalui alquran maupun sunnah nabi Muhammad yang berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi, dalam definisi yang lebih singkat al Raisuni menyatakan bahwa syari’at bermakna sejumlah hukum ’amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan konsepsi aqidah maupun legislasi hukumnya.
Secara terminologis makna  مقاصد الشريعة(maqashid al syari’ah) selalu mengalami perkembangan dari makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistic. Di kalangan ulama klasik sebelum al Syathibi belum ditemukan definisi yang konkret dan komprehensif tentang maqashid al syari’ah, definisi mereka cenderung mengikuti makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan maknanya, al Bannani memaknainya dengan hikmah hukum, al asnawi mengartikannya dengan tujuan-tujuan hukum, al samarqandi menyamakannya dengan makna-makna hukum, sementara al Ghazali, al Amidi, dan Ibn al Hajib mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat, dari definisi yang bervariasi tersebut mengindikasikan kaitan erat maqashid al syari’ah dengan hikmah, ‘illat, tujuan atau niat, dan kemaslahatan. Ibnu Asyur sebagai seorang pengusung maqashid al syari’ah sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang independent mendefinisikan مقاصد الشريعة (maqashid al syari’ah) sebagai berikut :
Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syari’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya, hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum, dan makna syari’ah yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum[4].
B.       PEMBAGIAN MAQASHID AL  SYARI’AH
Para ulama maqashid banyak melakukan klasifikasi maqashid dengan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda, pengklasifikasian ini sangat penting karena akan membantu dalam proses identifikasi maqashid bagi seorang praktisi hukum dalam memahami dan menerapkannya dalam proses istinbath hukum melalui pendekatan maqashidi. salah satu barometer pembagian Maqashid al Syariah adalah dengan klasifikasi sebagai berikut :
a.       Dari sisi subyektifitas
b.      Dari sisi orisinalitas
c.       Dari sisi universalitas
d.      Dari sisi urgensitas 
                 Dilihat dari sisi subyektifitas maqashid al syari’ah terbagi menjadi dua [5]:
1.      Maqasid As Syari' (Allah dan Rasul-Nya), misalnya : Tujuan asal penciptaan syari'at, tujuan pemahaman syari'at, tujuan pembebanan syari'at, tujuan pemasukan hamba ke dalam lingkup hukum.
2.      Maqasid Al Mukallaf (hamba), seperti tujuan para hamba dalam keyakinan, ucapan dan tindakannya
Dilihat dari sisi orisinilitas maqashid al syari’ah terbagi menjadi dua[6] :
1.      Al Maqasid Al Ashliyah : tujuan yang tidak memperhatikan kepentingan para hamba, (tidak ada pertimbangan hawa nafsu, kecenderungan dan tabiat manusia), seperti tujuan keta’atan dalam kewajiban zakat.
2.      Al Maqasid At Tabai'yah : tujuan yang memperhatikan hawa nafsu, kecenderungan dan tabiat manusia. Seperti tujuan memenuhi kebutuhan fakir miskin dalam ibadah zakat.
Dilihat dari sisi universalitas maqashid al syari’ah terbagi menjadi dua[7] :
1.      Al Maqasid Al Amah : Makna dan hikmah yang selalu diperhatikan oleh As Syari' (Allah dan rasul-Nya) dalam setiap atau mayoritas proses tasyri' (pensyari'atan), seperti Ad Dharuriyat (kemaslahatan primer)
2.      Al Maqasid Al Khassah : Makna dan hikmah yang diperhatikan pada bab atau hukum tertentu, seperti tujuan menghapus intimidasi kaum perempuan dalam fikih usrah (keluarga), tujuan membuat jerah dalam Al Jinayat (kriminal) dan tujuan mengantisipai penipuan dalam Al Mu'amalah Al Maliyah (transaksi)
Dilihat dari sisi urgensitas maqashid syari’ah terbagi menjadi tiga[8]:
1.      Dharuriyat : Kemaslahatan yang dibutuhkan oleh seluruh umat manusia, apabila tidak dipenuhi maka akan sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan, bisa berakibat fatal
2.      Hajiyat : tujuan untuk kemudahan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan
3.      Tahsiniyat : tujuan yang berkisar pada budi pekerti dan keluhuran akhlak, keindahan interaksi sosial dan tradisi. 
Barometer subyektifitas, orisinalitas, universalitas dan urgensitas adalah hasil ijtihad para ulama maqashid, Abu Ishak As Syatibi, menambahkan istilah Juz'iyah (parsial) dan Kulliyah (universal) tekait barometer universalitas[9], Ibnu Asyur menambahkan perspektif validitas, menghasilkan pembagian maqashid al syari’ah ke dalam Qathiyah (pasti) dan Dzanniyah (dugaan)[10].
Setelah penulis memaparkan klasifikasi maqashid syari’ah dalam berbagai perspektif, di bawah ini akan dibahas secara spesifik tentang maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah.



C.       MAQASHID AL ASHLIYYAH DAN MAQASHID AL TABA’IYYAH.
a.      Maqashid al Ashliyyah
1.      Definisi Maqashid al Ashliyyah
Imam Syathibi mendefinisikan maqashid ashliyah sebagai maqashid (tujuan-tujuan)  yang tidak memperhatikan kepentingan para hamba, (tidak ada pertimbangan hawa nafsu, kecenderungan dan tabiat manusia), misalnya seperti tujuan keta’atan dalam kewajiban zakat. Maqashid al ashliyyah ini sebagaimana dlaruriyat al khams yang selalu dipertimbangkan oleh setiap agama, maqashid ashliyah tidak mempertimbangkan kepentingan individu hamba karena maqashid ini berhubungan dengan kemaslahatan umum, tidak berkaitan dengan situasi, kondisi, serta perbedaan tempat dan waktu. Maqashid ini bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman dimanapun manusia berada[11].
Maslahah yang dikehendaki dalam maqashid al ashliyah lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang hendak diwujudkan dalam maqashid taba’iyyah, karena menurut logika tidak mungkin syari’ yang pada awalnya mensyari’atkan sesuatu demi kemaslahatan yang lebih kecil dari pensyari’atan hukum lain yang tujuannya untuk mewujudkan mashlahah yang lebih besar padahal merupakan pelengkap (wasilah) syariat yang pertama[12].
Maqashid al ashliyyah ini adalah dlaruriyyat al khams (hifdh al din, hifdh al nafs, hifdh al nasl, hifdh al ‘aql, hifdh al mal), yang merupakan kemaslahatan yang paling besar dan semua agama pasti memperhatikan pentingnya kemaslahatan ini untuk diwujudkan[13].

2.      Contoh Maqashid al Ashliyah
o  Dalam Ibadat[14]
Tujuan asal dari pensyari’atan ibadah shalat adalah berserah diri dan merendahkan diri, tunduk, merasa betul-betul hina, kecil di hadapan Allah, mengesakan Allah dan meniadakan yang lain dengan menghadapkan jiwa dan raga kepada-Nya.
Tujuan asal disyari’atkannya ibadah puasa adalah ketundukan, ibadah, dan menjalankan perintah Allah.
Tujuan asal disyari’atkan zakat adalah menjalankan perintah Allah, memperlihatkan rasa syukur, dan bentuk pujian kepada-Nya, mensucikan jiwa, dan mensucikan harta.
Tujuan haji adalah beribadah dan menjalankan perintah Allah yang terwujud dalam rangkaian manasik haji berupa aktifitas dan ucapan dzikir pengagungan terhadap Allah dan sya’arir al din.
o  Dalam Mu’amalat[15]
Tujuan utama setiap bentuk transaksi dalam Islam sebenarnya dimaksudkan oleh syari’ sebagai upaya untuk memelihara harta, mendorong manusia untuk bekerja dan berusaha mendapatkan rizki dengan jalan yang halal, dan menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah sehingga mendapatkan pahala di hari kelak kemudian.
o  Dalam Munakahat[16]
Tujuan utama pernikahan adalah mendapatkan keturunan demi kelangsungan hidup manusia dengan adanya regenerasi dan meramaikan dunia, memelihara nasab dan harga diri seseorang.


o  Dalam Jinayat[17]
Disyari’atkannya hukuman dalan kasus tindak pidana mengandung tujuan utama yaitu mewujudkan keadilan dengan pemberian ganti rugi bagi orang yang menjadi korban, menjadi penebus kesalahan pelaku, dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

3.      Pentingnya menjaga maqashid al ashliyyah.
Pentingnya menjaga maqashid al ashliyah adalah karena beberapa alasan sebagaimana berikut[18] :
1.      Dengan menjaga maqashid al ashliyah berarti sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syari’ dalam menurunkan syari’atnya, karena maksud syari’ adalah terbebasnya manusia dari belenggu hawa nafsunya dan menjadi hamba Allah yang taat.
2.      Dengan menjaga maqashid al ashliyyah berarti amal ibadah manusia bisa dianggap mendekati keikhlasan, amal kebaikannya murni sebagai ibadah dan tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan lain selain hanya untuk menghambakan diri kepada Allah. Karena orang yang menjalankan perintah syara’ tanpa memperhatikan tujuan duniawi dan kepentingan-kepentingan pribadi dia berarti melakukannya hanya demi Allah semata, dan inilah hakikat ikhlas.
3.      Bahwa ketika seseorang berpijak pada maqashid al ashliyyah, maka semua bentuk aktivitasnya akan menjadi sebuah ibadah, baik itu berupa ibadat atau adat, sebab apabila seseorang paham terhadap apa yang dikehendaki oleh syari’ dari keadaan dan hal-hal yang ada di dunia kemudian amal perbuatannya selalui ia lakukan berlandaskan pemahamannya tersebut, ketika melakukan sesuatu tentunya itu berdasarkan karena hal tersebut merupakan tuntutan syara’, dan ketika meninggalkan sesuatu juga berdasarkan karena itu merupakan larangan syara’, dia akan selalu menjadi penolong dalam mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia baik melalui kekuatan, lisan, maupun hatinya.
Sebagai contoh dalam perkara adat (mu’amalat), ketika seseorang melakukan suatu perbuatan atas dasar kepentingan pribadinya tanpa dasar mewujudkan mashlahah al ashliyah, sebenarnya pada dasarnya dia melakukan perkara sesuai dengan perintah syara’, namun dia tidak akan mendapatkan apa-apa dan amalnya tidak terhitung sebagai ibadah, seperti orang yang menikah atas dasar keinginan untuk memenuhi nafsu biologisnya dan pertimbangan-pertimbangan tujuan duniawi lainnya, namun tidak mempertimbangkan tujuan mewujudkan maqshad al ashli (tujuan dasar syara’) dalam mensyari’atkan pernikahan untuk menjaga keturunan dan menjaga kehormatan diri, nikahnya orang tersebut tidak akan mendapatkan pahala apa-apa, karena perkara mubah tidak akan mendapatkan pahala kecuali ketika dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, berbeda dengan orang yang menikah yang tujuannya menjaga keturunan atau kehormatan diri demi mewujudkan maqashid al ashliyah sebagai bentuk upaya mendekatkan diri kepada Allah, maka nikahnya walaupun merupakan perkara mubah termasuk bentuk ibadah yang akan mendapatkan pahala.
4.      Atas dasar maqashid al ashliyyah sebuah amal biasanya bisa berubah menjadi wajib, karena maqashid alashliyyah akan berkisar dalam hukum wajib ketika merupakan bentuk pemeliharaan terhadap hal-hal yang bersifat dlaruriyyat dalam agama.
5.      Maqashad ashli memuat semua tujuan syari’ yang intinya mewujudkan kemaslahatan dan meniadakan kemafsadatan baik di dunia maupun akhirat dalam setiap hukum syari’at, sehingga ketika manusia melaksanakan sesuatu atas dasar ini berarti dia bermaksud menjalankan perintah syari’.
6.      Menjalankan aktifitas apapun yang sesuai dengan maqashid al ashliyyah akan menjadikan sebuah ketaatan lebih besar pahalanya, demikian juga akan menjadikan sebuah kemaksiatan lebih besar balasannya.

b.      Maqashid al Taba’iyyah 
1.      Definisi maqashid al taba’iyyah
Imam Syathibi mendefinisikan maqshid al taba’iyyah sebagai tujuan yang memperhatikan hawa nafsu, kecenderungan dan tabiat manusia, sebagaimana tujuan memenuhi kebutuhan fakir miskin dalam ibadah zakat. Hal ini disebabkan karena kebijaksanaan Allah yang maha mengetahui menghendaki segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang bersifat ukhrawi maupun duniawi agar berlangsung mempertimbangkan kebutuhan manusia dan untuk memelihara kemaslahatan mereka.
2.      Contoh maqashid al taba’iyyah
o   Dalam Ibadat
Maqashid al taba’iyyah dalam ibadat misalnya dalam permasalahan shalat, ibadah shalat memiliki dua tinjaun maqashid, ashliyyah dan taba’iyyah, tujuan asal (al maqshad al ashli) disyariatkannya shalat untuk merendahkan diri di hadapan Allah, ikhlas menghadap kepada-Nya, bersimpuh di bawah telapak kaki kuasa-Nya dengan segala kerendahan dan kehinaan, dan mengingatkan diri dengan berdzikir kepada-Nya.
Adapun maqshad al taba’iyyah shalat seperti mencegah perbuatan keji dan munkar, beristirahat dari kejemuan dan kesibukan-kesibukan permasalahan dunia[19].
Maqashid taba’iyyah puasa adalah mencegah kemungkinan-kemungkinan tipu daya setan, dan membantu membentengi diri ketika dalam keadaan sendiri karena akan terbiasa ingat kepada Allah serta menjaga diri  dari melakukan larangan-Nya walaupun tidak ada orang yang melihat[20].
Maqashid al taba’iyyah dalam pensyari’atan zakat adalah perkembangan masyarakat dalam bidang perdagangan, perindustrian sehingga ekonomi mereka menjadi kuat, membantu memenuhi kebutuhan fakir miskin dan orang yang tidak mampu lainnya[21].
Maqashid al taba’iyyah dalam pensyari’atan haji adalah keuntungan-keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia pada moment tersebut untuk meningkatkan sektor perekonomian dan kepentingan penyelidikan[22].
o   Dalam Munakahat
Maqashid taba’iyyah dalam permasalahan dalam pensyari’atan nikah seperti keinginan istimta’, ini merupakan tujuan yang mengikuti tujuan asli yaitu memelihara keturunan, Allah menjadikan tujuan ini sebagai kodrat dalam diri manusia, sebagai pendorong mereka untuk mewujudkan maqshad al ashli (tujuan utama)[23].
o   Dalam Mu’amalat
Maqashid taba’iyyah dalam pensyari’atan mu’amalat adalah terpenuhinya kebutuhan duniawi manusia, sebagai makhluq social mereka memiliki naluri yang membutuhkan segala sesuatu untuk kepentingan keberlangsungan hidup, sehingga tidak akan bisa lepas dari interaksi dengan makhluk social yang lain, manusia membutuhkan makan, minum, pakaian, sandang pangan, uang, dsb. Itu semua tidak dapat berlangsung secara harmonis apabila tidak ada aturan yang jelas dari agama yang mengatur praktek mu’amalat yang baik dan sehat sehingga tidak akan timbul aktifitas yang saling merugikan antara satu individu dengan lainnya dalam proses mu’amalat[24].
o   Dalam Jinayat
Maqashid al taba’iyyah dalam permasalahan jinayat adalah tujuan untuk meredakan emosi korban serta menumbuhkan kerelaan dalam hatinya, sehingga akan terhindar dari balas dendam yang berlebihan dan main hakim sendiri[25].
o   Dalam Adat
Contoh lain seperti syahwat/keinginan yang mendorong orang makan atau minum ketika dalam keadaan lapar dan dahaga, hal ini merupakan maqshad tabi’ (tujuan yang mengikuti/perantara/sarana) terhadap tujuan asal (maqshad al ashli) yaitu hifdh al nafs (memelihara jiwa).
Semua ibadah mempunyai faidah serta manfaat ukhrawiyyah dan juga mengandung manfaat-manfaat duniawiyah, faedah yang bersifat ukhrawiyah adalah faedah ‘ammah yang disebut juga al ashliyyah, dan yang bersifat duniawiyah disebut faedah taba’iyyah[26].
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa maqashid al taba’iyyah merupakan sarana penunjang untuk mewujudkan al maqashid al ashliyyah dan menyempurnakannya. Seandainya tidak karena rahmat Allah kepada hambanya, tentu Dia akan memberatkan manusia dengan tidak menciptakan kodrat manusiawi dalam diri hambanya hal-hal yang menjadikan mereka tertarik untuk melakukan sesuatu yang bersifat duniawi demi kepentingan akhirat. Maqashid al ashliyyah hanya berorientasi pada penghambaan (ubudiyyah), sedangkan maqashid al taba’iyyah mengandung unsur belas kasihan Allah terhadap hamba-hamba-Nya[27].
3.      Tingkatan maqashid al taba’iyyah, hukum, dan kehujjahannya.[28]
Maqshid al Thabiah  adalah merupakan maqashid turunan yang mendukung dan melengkapi maqashid al ashliyyah, keduanya berhubungan erat dan saling melengkapi. Tidak tercapainya maqashid al ashliyyah bisa dipastikan mengakibatkan tidak tercapainya maqashid al tabi’ah, sedangkan tidak terpenuhinya maqashid al tabi’ah sedikit banyak biasanya akan berpengaruh pada cacatnya maqashid al ashliyyah, dengan melihat hubungan antara keduannya tingkatan maqashid al tabi’ah ini terbagi menjadi tiga, yaitu :
1.      Maqashid tabi’ah sebagai penegas dan penguat maqashid ashliyyah, ini disebut sebagai maqashid al tabi’ah al masyru’ah. Maqashid ini ada pada permasalahan ibadat maupun mu’amalat, disyari’atkan dan diperbolehkan karena sebagai pendorong terwujudnya maqashid ashliyyah.
Contoh dalam ibadah seperti orang yang bertujuan dalam ibadahnya untuk mendapatkan taufiq dari Allah, terkabul setiap doanya, Allah akan menjaga dirinya, keluarga, dan harta bendanya, tujuan-tujuan  ini semuanya merupakan hal-hal yang kembalinya pada kemanfatan yang akan diraih seorang hamba, namun di perbolehkan beramal dengan disertai tujuan tersebut karena sifatnya menguatkan dan mengukuhkan eksistensi maqashid ashliyyah.
Contoh dalam mu’amalat dan adat seperti orang yang nikah dengan terpenuhinya hasrat biologis, ketenangan dan ketentraman jiwa dalam rumah tangga, dsb. Dengan adanya tujuan-tujuan seperti ini akan tercapai tujuan asal dari pernikahan yaitu melestarikan keturunan, sebab dengan tujuan-tujuan tersebut seseorang dengan sendirinya akan terdorong melakukan pernikahan dengan tujuan asal pensyari’atannya untuk memperoleh anak, dan melestarikan  keturunan.
2.      Maqashid tabi’ah yang bertentangan dengan maqashid ashliyyah, disebut dengan maqashid tabi’ah ghoiru masyru’ah. tujuan mukallaf dalam menjalankan syari’at  karena hal-hal yang bertentangan dengan maksud asal pensyariatannya. ini tidak diperbolehkan dan tujuan tadi tidak dianggap dan ditolak oleh syara’.
Contoh dalam úbudiyyah adalah orang yang melakukan ibadah dengan tujuan akar dilihat dan didengar oleh orang banyak agar mendapat pujian, mendapat imabalan harta, atau disukai oleh mereka. Tujuan-tujuan seperti ini tidak diperbolehkan dan merusak ibadahnya, karena tujuan dasar ibadah dimaksudkan untuk mengesakan Allah, menghadap Allah dengan tulus tanpa disertai kemunafikan, riya’, dan memamerkan diri, agar termasuk orang yang ahli ibadah, zahid, bertaqwa, dan shalih.
Contoh dalam permasalahan mu’amalat seperti orang yang nikah dengan tujuan mut’ah, nikah dalam batas waktu tertentu, atau sebagai muhallil bagi istri yang telah di thalaq ba’in oleh suaminya agar bisa dinikah lagi. Tujuan-tujuan tersebut bertentangan dengan spirit dasar nikah untuk menghasilkan keturunan, oleh karena itu nikah dengan dasar maqashid taba’iyyah  (tujuan-tujuan pribadi) yang bertentangan dengan maqashid ashliyyah tersebut tidak diperbolehkan.
3.      Maqashid tabi’ah yang berada diantara dua tingkatan maqashid di atas. Pelengkap dan penguat maqashid ashliyyah, sekaligus kontradiksi dan bertentangan dengannya (maqashid al tabi’ah baina al martabatain al mukhtalaf fiha). Maqashid tabi’ah ini adalah yang diperselisihkan ulama, cara menentukan kemungkinan terkuat dan terjelas akan dikategorikan pada tingkatan yang pertama atau kedua tergantung jtihad dan analisa yang benar dan jeli dari seorang mujtahid.
Contohnya orang yang menutut ilmu dan mengarang kitab, tujuan asalnya (maqashid ashliyyah) adalah beribadah dan taat kepada Allah, terkadang tujuan orang dalam hal ini agar mendapat pujian, ketenaran, dan ucapan terima kasih dari masyarakat, ketika tujuan melakukannya atas dasar ini maka hukumnya tidak boleh karena bertentangan dengan tujuan asal (maqshad ashliy), bisa juga orang melakukannya dengan tujuan untuk kepentingan pendidikan, acuan keilmuan, dan menuntut ilmu serta nasyr al ilmi, tujuan-tujuan seperti ini diperbolehkan oleh syara’. Dari contoh tersebut bisa dipahami bahwa satu amalan ada kemungkinan dilakukan dengan maksud dan tujuan yang berbeda, boleh tidaknya ibadah tersebut akhirnya melihat pertimbangan maqashid tabi’ah yang melatar belakangi seseorang melakukan sesuatu. Yang perlu diperhatikan hanya apakah factor tersebut sebagai penguat terwujuadnya maqashid ashliyyah dan tidak bertentangan dengannya, atau factornya kontradiksi dan justru maqashid ashliyyah yang mengikuti (merupakan turunan) kepada maqashid tabi’ahnya, ketika demikian maka jelas bathal dan tidak diperbolehkan[29].
c.       Persamaan dan Perbedaan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah.
1.      Persamaan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah.
Antara maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah keduanya memiliki kesamaan dalam beberapa hal, yaitu[30] :
1.      Keduanya termasuk maqashid al syari’ah yang dikehendaki oleh syari’ dalam setiap hukum yang disyariatkan, setiap hukum syara’  menunjukkan tujuan dan hakikatnya, dan menghendaki terwujudnya maslahah dan kemanfaatan serta kebaikan baik di dunia maupun di akhirat, bagi individu, masyarakat, seluruh umat manusia, dan semua makhluk hidup yang ada dimuka bumi.
2.      Keduanya ditetapkan oleh adillah al syar’iyyah al mu’tabarah, disarikan dari nash-nash agama, ijma’, serta hasil analisa melalui istinbath, ijtihad, dan istiqra’.
2.      Perbedaan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah.
Dari penjelasan yang sudah dipaparkan di atas dengan jelas dapat dipahami perbedaan antara maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah, perbedaan tersebuat sebagai berikut[31] :
1.      Maqashid al ashliyyah merupakan tujuan asal / tujuan utama dari pensyariatan hukum, sedangkan maqshid al taba’iyyah adalah tujuan pelengkap dan merupakan turunan dari maqashid al ashliyyah, penguat hikmahnya, motifasi pendorongnya, dan sebab yang bisa memunculkan keinginan untuk mewujudkan maqashid al ashliyyah.  
2.      Maqashid al ashliyyah berkisar pada hukum wajib dilihat dari statusnya sebagai pemelihara perkara-perkara dlaruriyyat dalam agama yang harus dijaga berdasarkan kesepakatan ulama, sedangkan maqshid al taba’iyyah bisa wajib, mubah, atau makruh. Terkadang hukumnya boleh (mubah) secara parsial dan universal, atau boleh secara parsial saja, dan adakalanya boleh  (mubah) secara parsial namun dilarang (makruh) secara universal, hal ini karena maqashid al taba’iyyah spiritnya adalah pemeliharaan keinginan manusiawi seorang hamba yang hal ini bukan sesuatu yang wajib. Maqashid al taba’iyyah berstatus wajib ketika merupakan perantara bagi terwujudnya perkara yang hukumnya wajib.
3.      Al maqashid al ashliyyah tuntutannya sangat dipertegas untuk diwujudkan karena jika tidak manusia akan meremehkannya, hal ini mengakibatkan mashlahah ‘ammah tersia-siakan, sebab manusia kebaikan dan keuntungannya tidak berkaitan dengan hasrat manusia, untuk merangsangnya tuntutan perwujudannya harus dipertegas. Adapun maqashid al taba’iyyah karena berhubungan dengan hasrat dan keinginan manusia, maka tuntutannya tidak perlu dipertegas, sebab naluri kemanusiannya akan dengan sendirinya condong untuk berusaha mewujudkan apa yang menjadi keinginan dan hasrat serta hajatnya.
d.      Kaidah-kaidah maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah[32]
Ada beberapa kaidah metodologis dalam menyikapi sebuah permasalahan yang memiliki keterkaitan dengan maqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah, kaidah ini sebagai acuan untuk menyikapi semua bentuk ‘amaliyyah yang tidak terlepas dari maksud dan tujuan sebenarnya yang dikehendaki oleh syari’ namun juga tidak terlepas dari pertimbangan kemaslahatan yang kembali kepada semua makhluq. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Maqashid al tabi’ah adalah maqashid yang dikehendaki oleh syari’
2.      Maqashid tabi’ah ada tiga macam; pertama, sebagai penguat maqashid ashliyyah dan menumbuhkan keinginan untuk mewujudkannya, ini termasuk yang menjadi maksud dari syari’. Kedua, yang mendorong hilangnya (tidak tercapainya) maqashid ashliyyah, maqashid tabi’ah ini kontradiksi dengan maksud dari syari’. Ketiga, maqashid tabi’ah yang tidak berhubungan erat dengan maqashid ashliyyah dan bukan sebagai penguat terhadapnya, namun tidak kontradiksi dan tidak menyebabkan maqashid ashliyyah tereliminasi, tujuan pelengkap yang seperti ini diperbolehkan dalam urusan adat saja sedangkan dalam permasalahan ibadat tidak bisa ditolerir[33].
3.      Tujuan pelengkap ketika dalam pelaksanaannya didasari dengan niat dan tujuan asal atas pensyari’atan hukum amaliyah tertentu maka dihukumi sama dengan maqshad al ashli[34].
4.      Maqashid taba’iyyah (tujuan pelengkap) ketika menjadi penentu wujudnya maqashid al ashliyyah, merupakan penguat hikmahnya, dan mendorong keinginan untuk terus melestarikan dan mempertahankannya maka hal ini sama dengan tujuan asal dari syari’, diperhitungkan baik maqashid taba’iyyah tersebut di legitimasi oleh nash ataupun tidak, di secara implisit di isyaratkan nash atau diketahui dengan dalil lain seperti analisa dengan metode induksi terhadap nushus al syar’iyyah[35].
5.       Maqashid al taba’iyyah yang diperbolehkan dan dipertimbangkan adalah yang merupakan penguat dan mendukung tujuan asal ibadah, bukan justru merusak nilai keikhlasan[36].
6.      Maqashid al ashliyyah adalah sebagai penyempurna bagi maqashid al ashliyyah, jadi harus diposisikan sebagai pertimbangan dan niat yang kedua setelah tujuan asal[37].
7.      Maqashid al taba’iyyah dikehendaki oleh syari’ sebagai tujuan kedua, dengan demikian ia tidak dianggap ketika dalam kenyataannya justru merusak dan mencacatkan tujuan asalnya sebagai tujuan utama[38].



BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Setelah penulis memaparkan penjelasan yang panjang lebar tentang mqashid al ashliyyah dan maqashid al taba’iyyah serta hal-hal yang berhubungan denganya, dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa poin penting diantaranya sebagai berikut :
1.      Maqashid al ashliyyah adalah merupakan tujuan asal dari syari’ dalam pensyariatan hukum agama, dan tujuan utama dibalik setiap hukum syara’. Adapun maqashid al taba’iyyah adalah tujuan pelengkap dan tujuan sekunder dari pensyari’atan hokum syara’, maqashid ini biasanya mengakomodir tujuan-tujuan dari mukallaf sebagai bentuk rahmat dan belas kasihan Allah karena memandang naluri manusiawinya.
2.      Maqashid al ashliyyah sebagai tujuan utama dan kehendak Allah dalam memberikan syari’at tentunya harus di pelihara dan diprioritaskan dari pada maqashid al taba’iyyah. maqashid al ashliyyah bisa merubah amaliyyah seseorang yang sebenarnya hanya mubah menjadi sunnah hukumnya dan menjadi amal yang pahalanya lebih tinggi, tidak demikian halnya dengan maqashid al taba’iyyah.
3.      Maqashid al taba’iyyah sebagai tujuan sekunder dan pelengkap bagi maqashid al ashliyyah tentunya sama-sama di maksudkan oleh syari’ agar terwujud, keduanya diakui sebagai tujuan yang harus dipenuhi sehingga keabsahannya mendapatkan legitimasi dari syara’ melalui nash-nash al syar’iyyah.
4.      Maqashid al taba’iyyah sebagai pelengkap dan pendukung bagi maqashid al ashliyyah dalam prakteknya tidak boleh kontradiksi dengannya, apalagi sampai menggugurkan tujuan asal tersebut.
B.       PENUTUP
Demikian pemaparan tentang maqashid al ashliyah dan al taba’iyyah, semoga dapat memberikan tambahan informasi yang berguna bagi para pembaca, menjadi sumbangsih yang berharga bagi dunia keilmuan Islam saat ini. Apabila ada kekurangan dan kesalahan, dimohon kritik saran yang membangun sebagai koreksi bagi terwujudnya penulisan yang lebih baik, dan apabila ada kebenaran semua adalah berkat hidayah dan rahmat Allah SWT. Akhir kata wa bi Allah al taufiq wa al hidayah, Allah a’lamu bi al shawab, wassalamu’alaikum wr.wb.












DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul al Syari’at, Tahqiq al Syaikh Abdullah Darraz, Alexandria; Dar al Fikr al ‘Arabi, tt. 
Abu al Fadhl Muhammad bin Mukrim bin Mandzur, Lisan al ‘Arab, Vol. 3, Beirut; Dar Shadir, 1300 H
Ahmad Bin Muhammad Bin Ali al Fayumi al Muqri, Al Mishbah al Munir Fi Gharib al Syarh al Kabir li al Rafi’I , Beirut; Maktabah Lubnan, 1987
Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002
Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001
Dr. Muhammad Bakr Isma’il Habib, Maqashid al Syari’ah Ta’shilan wa Taf’ilan, Kairo; Rabithah al ‘Alam al Islami, 1427 H
Dr. Raihanah al Banduzi, Muhadlarat fi al Maqashid al Syari’ah, www. Chariaafes.com
Fairuz Abadi, Al Qamus al Muhith, Beirut; Muassasah al Risalah, 1987
Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais, 2001




[1] Ahmad Bin Muhammad Bin Ali al Fayumi al Muqri, Al Mishbah al Munir Fi Gharib al Syarh al Kabir li al Rafi’I , Beirut; Maktabah Lubnan, 1987, h. 192
[2] Ibid
[3] Fairuz Abadi, Al Qamus al Muhith, Beirut; Muassasah al Risalah, 1987, h. 396, bisa juga dilihat di Abu al Fadhl Muhammad bin Mukrim bin Mandzur, Lisan al ‘Arab, Vol. 3, Beirut; Dar Shadir, 1300 H, h. 355.
[4] Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais, 2001 h. 251
[5] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 71
[6] Op. Cit. h. 75
[7] Op. Cit. 72
[8] Op. Cit. h. 71
[9] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul al Syari’at, Tahqiq al Syaikh Abdullah Darraz, Alexandria; Dar al Fikr al ‘Arabi, Juz II h. 54-61
[10] Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais, 2001 h. 231
[11]   Abu Ishaq al Syathibi, Al Muwafaqat, Juz II h. 176
[12] Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002, h.183
[13]  Abu Ishaq al Syathibi, Al MUwafaqat, Juz II h. 299
[14]  Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 171-175
[15] Op. Cit. h. 175
[16] Op. Cit. h. 178
[17] Op. Cit. 186
[18] Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002, h.184-185
[19] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 171
[20] Op. Cit. h. 173
[21] Op. Cit. h. 173
[22] Op. Cit. h. 174
[23] Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002, h.186
[24] Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah, Yordania; Dar Al Nafais, 2001, h. 450-477
[25] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 187
[26] Abu Ishaq al Syathibi, Al MUwafaqat, h. 400
[27] Abu Ishaq al Syathibi, Al Muwafaqat, Juz II h. 178-179
[28] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 160
[29]  Contoh-contoh lain yang lebih jelas bisa dilihat di “Al Muwafaqat” karya Al Syathibi, Juz II tentang maqashid ashliyyah  dan al tabi’ah.
[30]  Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 158
[31]  Dr. Abdul Aziz Bin Abdurrahman Bin Ali Bin Rabi’ah, Ilmu Maqashid al Syari’, Riyadl; Al Mamlakah al ‘Arabiyah al Saudiyah, 2002, h.187-189
[32] Dr. Nuruddin Bin Mukhtar al Khadimi, Ilmu al Maqashid al Syari’ah, Riyadh; Maktabah al ‘Abikan, 2001 h. 255
[33] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul al Syari’at, Tahqiq al Syaikh Abdullah Darraz, Alexandria; Dar al Fikr al ‘Arabi, Juz II h. 407
[34] Op. Cit. Juz II h. 201
[35] Op. Cit. Juz II h. 397
[36] Op. Cit. Juz II h. 407
[37] Op. Cit. Juz II h. 179
[38] Op. Cit. Juz III h. 208

Tidak ada komentar:

Posting Komentar