Selasa, 21 Februari 2017

Peradilan Agama zaman penjajahan Belanda dan Jepang

                                                                             BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG

Berbicara tentang peradilan agama di Indonesia tidak akan lepas dari sejarah yang melatar belakanginya, ada empat produk hukum yang mempengaruhi berlakunya hukum di Indonesia, yaitu hukum adat masyarakat asli sebagai warga pribumi, hukum Eropa daratan (kontinental) yang dikenal dengan civil law, hukum Eropa kepulauan yang dikenal dengan nama common law atau Anglo Saxon yang dibawa oleh penjajah Belanda, serta hukum Islam sebagai produk pemahaman Islam yang dipopulerkan oleh penduduk muslim Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan Islam.
Peradilan Islam dalam sejarahnya mengalami pasang surut, itu mungkin tidak lepas dari kenyataan adanya beberapa produk hukum yang berbeda yang saling mengambil tempat untuk bisa eksis dan diaplikasikan di Indonesia oleh masing-masing penggagasnya, keadaan sosial masyarakat, sistem pemerintahan yang sedang berkuasa, sangat mempengaruhi perkembangan Peradilan Islam di Indonesia.
Hal-hal tersebut bisa terlihat dari potret sejarah perjalanan Peradilan agama. Penulis menilai ini sangat menarik sekali untuk dikaji karena akan memberikan gambaran kepada kita faktor-faktor yang mempengaruhi pasang surut perjalanan Peradilan Agama di Indonesia, sehingga mungkin akan menumbuhkan sikap tertentu dan paradigma baru yang akan membawa kepada masa depan Peradilan Agama yang lebih baik lagi, karena bagaimanapun juga ini merupakan salah satu simbol kebesaran Islam yang ada di Indonesia.
B.     RUMUSAN MASALAH
Penulis membatasi pembahasan dalam penulisan ini pada masalah-masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah perjalanan Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda ?
2.      Bagaimana sejarah perjalanan Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Jepang ?

C.    METODOLOGI PENULISAN
Kajian ini adalah merupakan bentuk penelitian kualitatif, yang menekankan kajian kepustakaan (library research) untuk mencari data-data tentang sejarah Peradilan Agama melalui pendekatan Teori Sosial, Tata Negara, dan Living Law, sehingga diharapkan akan ditemukan sebuah gambaran tentang tumbuh kembang Peradilan Agama pada saat itu serta factor-faktor yang mempengaruhinya, baik kondisi sosial, politik, maupun budaya saat itu.
D.    SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan pemahaman serta terfokusnya penulisan ini, penulis menyusunnya dengan sistematima sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, runusan masalah, serta sistematika penulisan.
BAB II : PEMBAHASAN
Berisi pemaparan tentang sejarah Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda, yang meliputi tiga periode, masa transisi, masa tahun 1882-1837. Dan masa setelah tahun 1937 sampai penjajahan Jepang. Kemudian perjalanan Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang sampai merdeka.
BAB III : KESIMPULAN DAN PENUTUP


BAB II
PEMBAHASAN


A.    SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Dalam memahami potret perjalanan peradilan agama di Indonesia pada masa penjajahan, dapat di klasifikasi menjadi beberapa periode, yaitu era sebelum tahun 1882 pada masa kerajaan-kerajaan dan awal pendudukan belanda dan masa setelah belanda melancarkan politik hukum, setelah tahun 1882 sampai sekitar tahun 1937, dari sekitar tahun 1937 sampai pendudukan jepang, dan era setelah pendudukan jepang sampai Indonesia merdeka. Berikut ini akan dipaparkan secara detail perjalanan peradilan agama dalam periode-periode tersebut.  
a.      Sebelum tahun 1882 (masa transisi)
Sebelum belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia[1], hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing, dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan.
Masyarakat pada masa kerajaan sampai awal kolonial belanda berkuasa dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi[2].
Peradilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut “pengadilan serambi”. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, para ulama yang memegang kekuasaan dalam Peradilan Agama merupakan penghulu kraton yang mengurus keagamaan islam dalam semua aspek kehidupan. Kewenangan Peradilan Agama yang diselenggarakan oleh pihak keraton tersebut sangat luas mencakup perbagai permasalahan kemasyarakatan dan kerajaan.
Eksistensi Peradilan Agama yang di praktekkan tersebut merupakan bukti bahwa hukum Islam telah mampu melebur dengan hukum adat Indonesia, dan justru lebih bisa di terima oleh masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari keadaan sosial masyarakat saat itu yang mayoritasnya sudah memeluk agama Islam, selain itu kekuasaan pemerintahan kerajaan juga sangat mendukung aktifnya Peradilan Agama.
Setelah Belanda datang ke Indonesia dan mulai menjajah, dengan VOC yang merupakan badan persatuan pedagang yang sekaligus berfungsi sebagai badan pemerintahan mereka di Indonesia, keadaan sedikit berubah, mereka berusaha mengikis eksistensi Peradilan Agama yang diparaktekkan oleh warga pribumi melalui kebijakan-kebijakan mereka, pada tanggal 4 maret 1620 mereka mengeluarkan instruksi agar di semua daerah yag dikuasai VOC harus diberlakukan Hukum Sipil Belanda[3]. usaha mereka ini tidak berhasil karena tidak diterima oleh masyarakat, dan bahkan mereka banyak yang melakukan perlawanan.
Pada tanggal 25 mei 1760 berlakunya Hukum Islam di akui oleh VOC melalui Resolutie der Indische Regeling, yaitu berupa kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan mebnurut Hukum Islam[4].
Hal ini mngkin disebabkan karena sistem pemerintahan Belanda belum kuat kekuasaannya, dan juga idealisme serta fanatisme keberagamaan masyarakat Indonesia pada saat itu yang sangat kuat sekali, sehingga upaya pemerintah Belanda untuk menekan Peradilan Agama dan memasukkan hukum Eropa kurang berjalan lancar.
Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) Pengadilan  Agama belum berdiri sendiri sebagai lembaga independen, meskipun demikian untuk daerah Banten, daendels membiarkan adanya Pengadilan Penghulu yang dapat praktik memutuskan perkara-perkara kekeluargaan menurut hukum Islam. Di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, walaupun tidak ada Pengadilan Agama di setiap landgerecht diikut sertakan seorang penghulu yang akan ikut memberikan pertimbangan bila ketua (bupati) Landoros beserta anggota akan memutuskan perkara./ untuk setiap viredesqerecht di Jawa Tengah dan Jawa Timur diangkat seorang penghulu sebagai anggota dan viredesqerecht ini akan memutuskan perkara-perkara kecil misalnya perselisihan-perselisihan dalam perkawinan, penganiayaan, utang piutang, dan sebagainya.
Seperti halnya VOC, Daendels menganggap hukum adat jawa yang terdiri dari hukum Islam adalah lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa, oleh karena itu tidak cukup baik untuk orang Eropa. Hal ini tampak jelas ketika terjadi seorang Eropa melakukan kejahatan bersama-sama dengan orang Jawa asli, maka yang berhak untuk mengadili mereka adalah Raad van Justitie dan hukum materil yang diterapkan adalah hukum Eropa.
Pada tahun 1830 pemerintahan belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan “landraad” (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dalam bentuk “excecutoire verklaring” (pelaksanaan putusan), Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang.
Dapat disimpulkan bahwa potret peradilan agama pada awal penjajahan Belanda sudah beroperasi secara maksimal, diakui dan diterapkan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia, walaupun belum diakui sebagai lembaga resmi yang independen oleh Belanda. hal ini bisa terjadi karena memang pengaruh Islam kuat sekali, kemudian pengakuan dan legitimasi yang diberikan oleh penguasa juga sangat mendorong berdirinya peradilan agama dan diakui keberadaannya serta aktualisasinya. Ini sesuai dengan teori living law dan teori hukum ketatanegaraan. Peradilan Agama pada mulanya masih eksis dan memiliki peran penting pada masa awal penjajahan belanda, ini karena sesuai dengan teori living law hukum yang hidup di masyarakat  dan yang mempengaruhi pola pikir mereka adalah hukum Islam, namun ketika belanda berkuasa dan melancarkan politik hukumnya, peradilan agama dengan hukum Islam yang diusungnya bersinggungan dengan hukum Eropa dan hukum adat, ketika terjadi gap semacam ini maka kebijakan penguasalah yang paling menentukan, pemerintah belanda dalam hal ini ingin menyingkirkan peradilan agama walaupun masyarakat mayoritas muslim, ini tentunya tidak lepas dari pertimbangan politik dari mereka[5], seperti terancamnya kekuasaan, ketakutan akan fanatisme yang berlebihan dari rakyat jajahan, dsb. 

b.      Sesudah tahun 1882 sampai tahun 1937 (Pemerintahan Belanda I)
Setelah masa Daendels sekitar tahun 1845,  banyak ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran agama Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam.
Bukti Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR)  staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini secara mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia yang notabenenya beragama Islam.
Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 telah mengubah susunan dan status Peradilan Agama. serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, ini adalah merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi Peradilan Agama, dengan adanya Staatblad 1882 no.152 yang di keluarkan pada tanggal 1 Agustus 1882 ini[6], maka secara yuridis formal Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dengan sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia. 
Adapun wewenang Pengadilan Agama yang disebut dengan "preisterraacf'”, menurut Noto Susanto (1963: 7) perkara-perkara itu umumnya meliputi : pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan  anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya erat dengan agama Islam,
Staatblad 1882 no.152 berisi tujuh pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Disamping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan madura diadaklan satu Pengadilan Agama, yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
Pasal 2
Pengadilan Agama terdiri atas; penghulu yang diperbantukan kepada landroad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen
Pasal 3
Pengadilan agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota trermasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.
Pasal 4
Putusan pengadilan agama dituliskan dengandisertai dengan alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan pula ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5
Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar dan harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan
Pasal 7
Keputusan pengadilan agama yang melampaui batas wewenang atau kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) tidak dapat dinyatakan berlaku
Selain Peradilan Agama pada saat itu terdapat lima buah tatanan peradilan, yaitu :
1.      Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda
2.      Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di Karesidenan Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku, dan di pulau Lombok dari Karesidenan Bali dan Lombok.
3.      Peradilan Swapraja, tersebar hamper di seluruh daerah swapraja, kecuali di Pakualaman dan Pontianak.
4.      Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat Peradilan Gubernemen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah swapraja dan menjadi bagian dari peradilan swapraja.
5.      Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen. Disamping itu ada juga Peradilan Desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.
Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu sangat dipengaruhi oleh pemikiran hukum sarjana barat L.W.C. Van De Berg, dia sebagai penasehat kerajaan Belanda adalah konseptor Staatblad 1882 no.152[7]. Dia mengemukakan sebuah teori yang disebut teori “receptio in complexu”, Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikaitkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini, adalah “hukum mengikat agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini menyebut bagi rakyat pribumi yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya, walaupun terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya”.
Teori ini diangkat dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum VOC berkuasa di Indonesia banyak kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma Hukum Islam. Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan Hukum Islam antara lain kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, dan Palembang. Di Wilayah kerajaan tersebut diberlakukan Hukum Islam dan ada lembaga peradilan agama, dengan pertimbangan ini maka sudah seharusnya Peradilan Agama ada, termasuk juga di Batavia yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda[8].  

           c.       Setelah tahun 1937 (Pemerintahan Hindia Belanda II)
Teori Receptio In Complexu yang dikemukakan Van De Berg yang melatar belakangi munculnya stanblaad tahun 1882 no.153 mendapat kritikan tajam oleh Snouck Horgronje karena teori Receptio In Complexu bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda, dan akhirnya dia mengemukakan teori Receptio.
Menurut teori Receptio dinyatakan “hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat”. Maka dari itu sudah selayaknya jika diterapkan adanya kebijakan bahwa hukum Islam bisa diterapkan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat[9].
Pada tahun 1937 munculah Staatsblad 1937 Nomor 116, dengan stanblaad ini berarti telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan negeri, mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain diseluruh Indonesia.
Wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan ketentuan baru pasal 2a Staatblad 1837 meliputi perkara-perkara sebagai berikut[10] :
1.      Perselisihan antar suami istri yang beragama Islam
2.      Perkara-perkara tentang : a. nikah, b. talak, c. rujuk, dan d. perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama islam
3.      Menyelenggarakan perceraian
4.      Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al thalaq) telah ada.
5.      Perkara mahar atau mas kawin.
6.      Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Teori receptio bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat pemerintah kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial dalam penyebaran agama kristen di wilayah Hindia Belanda.
Dengan ini pemerintah Belanda melegislasi Peradilan Agama, namun dengan terselubung bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara sedikit demi sedikit mengurangi kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.

B.     SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, Sooryoo hoon untuk Radd Agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 maret 1942 No.1.
Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah balatentara). Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari :
1.      Tiho hooin (pengadilan negeri)
2.      Keizai hooin (hakim poloso)
3.      Ken hooin (pengadilan kabupaten)
4.      Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)
5.      Sooryoo hoon (raad agama)

Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka kelak.
Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan opada tanggal 17 agustus 1945, maka pertimbangan dewan pertimbangan agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
Dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang ini baik posisi maupun wewenangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, justru Jepang lebih bersikap terbuka terhadap Islam dengan pengakuan dan pengukuhan adanya Peradilan Agama, hanya istilah penyebutannya saja yang berbeda, ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Jepang saat itu yang posisinya sedang kritis dan terjepit sebagai dampak dari perang dengan tentara sekutu, jadi saat mereka dalam keadaan lemah seperti ini tidak mungkin mereka merusak hubungan dengan kaum muslim di Indonesia, langkah yang diambil adalah sikap lentur terhadap Islam termasuk lembaga Peradilan Agama.






BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

             a.      Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di Atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa poin diantaranya sebagai berikut :
1.      Perjalanan sejarah Peradilan agama mengalami pasang surut dalam hal posisi dan kewenangannya, ini tidak lepas dari faktor keadaan politik dan kebijakan penguasa, keadaan sosio historis masyarakat, serta gap antara empat hukum yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, hukum Islam, hukum adat, hukum darat Eropa (civil law), dan hukum kepulaun Eropa (common law)
2.      Perubahan Perbedaan posisi serta wewenang Peradilan Agama dapat dibedakan berdasarkan periodesasi : masa transisi (awal penjajahan Belanda sampai tahun 1882), masa Hindia Belanda I (tahun 1882), masa Hindia Belanda II (tahun 1937), dan masa pendudukan Jepang (1942). Perbedaan posisi dan wewenang Peradilan Agama dalam setiap periode beserta faktor yang mempengaruhinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
A.    Masa Transisi (awal penjajahan sampai 1882) :
a.       Awal kolonial
ü  Eksistensi :
Peradilan Serambi (PA eksis dalam masyarakat, belum terlembaga dalam sistem kenegaraan)
ü  Wewenang :
Hampir semua permasalahan masyarakat yang berhubungan dengan apapun.
ü  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Keadaan sosial masyarakat
2.      Pengaruh Islam yang kuat
3.      Sesuai dengan Teori Living law

b.      Masa VOC (1620)
ü  Eksistensi :
o   Peradilan Agama hampir tersingkirkan,
o   VOC ingin memberlakukan Hukum Sipil Belanda pada daerah kekuasannya. 
ü  Wewenang :
Hukum Kewarisan ingin diambil alih juga oleh Belanda.
ü  Faktor yang mempengaruhi :
Kepentingan politik Belanda
c.       Masa tahun 1760
ü  Eksistensi :
Berlakunya hukum perdata Islam diakui Belanda dengan Resolutie Der Indische Regeling (kumpulan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Islam)
ü  Wewenang :
Hukum Kewarisan diakui lagi oleh belanda.
ü  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kepentingan Politik Belanda
2.      Gejolak masyarakat Indonersia
B.     Hindia Belanda I
ü  Eksistensi :
Peradilan Agama menjadi Lembaga Peradilan Resmi secara formal sebagai bagian dari sistem kenegaraan.
ü  Wewenangnya :
o    pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan  anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal
o    Hukum mu’amalah dan pidana belum diakui.
ü  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kebijakan Politik Belanda
2.      Teori  “receptio in complexu” oleh L.W.C. Van Den Berg sesuai teori living law
C.    Hindia Belanda II
ü  Eksistensi :
Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal, namun wewenangnya dibatasi
ü  Wewenangnya :
o   masalah pernikahan saja
o   wewenang dalam waris wakaf dan persengketaan harta benda dihilangkan
ü  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kebijakan Politik Belanda (teori receptio a complexu bertentangan dengan kepentingan Belanda)
2.      Teori  “receptio” oleh Snouck Horgronje
D.    Pendudukan Jepang
ü  Eksistensi :
Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal
ü  Wewenangnya :
Wewenangnya tidak ada perubahan yang jelas
ü  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kebijakan Politik Jepang
2.      Kelemahan posisi pemerintahan Jepang
b.      Penutup
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kesalahan diharapkan kritik dan saran dari semua pihak, apabila ada kebenaran dari apa yang kami tulis itu semua adalah murni pertolongan dan petunjuk dari Allah. Semoga tulisan ini dapat diambil manfaat oleh para pembaca sebagai tambahan pengetahuan dalam mengarungi samudera ilmu tuhan, dan menjadi amal bail penulis, amin.  
DAFTAR PUSTAKA

M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsepKunci, Paramadina, Jakarta, 1996
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2000)
Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2005.
Mushofa, Sy. SH. MH. Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005.
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010.
Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003


[1] M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsepKunci, Paramadina, Jakarta, 1996
[2] Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2000), Hal: 43
[3] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. h. 25
[4] Op. Cit.h. 26
[5] Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2005.h.176-177
[6] Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010. h. 48
[7] Mushofa, Sy. SH. MH. Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005. h. 15
[8] Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010. h. 47
[9] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. h. 28-29
[10] Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 120.