SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN
URGENSI FIQH MUQARAN
Oleh : Abdul
Basith
I. PENDAHULUAN.
Perbandingan Madzhab adalah upaya untuk mengetahui pendapat-pendapat para
imam Mazhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil
atau alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara istinbath hukum. Setiap
imam mujtahid dalam mengeluarkan pendapat-pendapatnya pada hakikatnya tidak menyimpang
dan tidak keluar dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perbandingan mazhab dimaksud bukan bertujuan untuk meremehkan atau
mencari kelemahan suatu pendapat imam madzhab tertentu, melainkan untuk mencari
alternative yang paling benar diantara pendapat-pendapat para imam madzhab yang
sudah benar.
Selain itu, perbandingan madzhab juga mencari dalil-dalil yang menjadi
sumber rujukan utama (al-Quran dan Sunnah), karena pada hakikatnya kewajiban
kita bukan mengikuti pendapat madzhab tetapi mengikuti dalil yang dijadikan
sumber oleh ulama madzhab.
Ulama madzhab sendiri telah menganjurkan untuk tidak mengikuti madzhab
mereka melainkan dalil al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh mereka,
juga menyarankan untuk meninggalkan pendapat mereka jika bertentangan dengan
al-Quran dan Sunnah.
Perbandingan madzhab juga upaya untuk menghindari fanatik buta (ta’asub).
Hal ini karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi yang benar tentang
mazhab-mazhab yang ada. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji
perbandingan mazhab. Pertama, dalam Islam terdapat empat mazhab fiqih yang
terkenal. Seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Inilah mazhab yang
terkenal dalam fiqih Islam. Kedua, walaupun sudah ada ada empat mazhab tidak
berarti bahwa semua syariat Islam itu telah dibicarakan oleh ke empat mazhab
tersebut. Ini berarti, belum tentu pendapat di luar empat mazhab itu secara
otomatis salah. Salah atau tidak mesti menggunakan pijakan dan patokan yang
sudah disepakati yaitu quran dan hadits. Ketiga, kenapa hanya empat madzhab
yang kita kenal? Karena hanya empat mazhab ini mempunyai
pengikutpengikut/murid-murid yang rajin mencatat perkataan imamnya yang
terus-menerus diwariskan hingga sampai kepada kita. Imam-imam yang diwariskan
ilmu dari imam yang empat itu belum tentu kadar keimanannya di bawah imam yang
empat, banyak diantaranya yang juga sangat pandai. Namun pendapat-pendapat
mereka akhirnya dinisbatkan kepada pemberi pendapat yang yang pertama, yaitu
imam yang pertama. Semua imam mazhab sepakat bahwa pijakannya tetap Quran dan
Hadits, ucapan mereka tentang ajakan untuk kembali kepada Al-Quran dan
Al-Hadits, walaupun dengan redaksinya yang berbeda-beda. seperti imam Syafi’i pernah
mengatakan: “jika sebuah hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.”
Suatu contoh pemahaman para imam madzhab Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah berkaitan dengan sabda Rasulullah Saw berikut ini:
“Sesungguhnya wudhu tidak wajib kecuali bagi mereka yang tidur sambil
berbaring”.
Hadits di atas berkaitan dengan tidur yang membatalkan wudhu. Menurut
Syafi’iyah bahwa tidur yang batal adalah tidur yang berbaring berdasarkan sabda
di atas. Tetapi menurut Hanafiyah bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah
tidur yang dalam keadaan tiga kondisi, pertama tidur berbaring, kedua tidur
duduk dengan bersandar dan ketiga tidur duduk dengan kepala bersandar di atas
lutut atau ada penyangga kepala.
Ternyata kondisi kedua dan ketiga ini adalah jabaran dari kondisi
berbaring. Karena pada umumnya, orang yang tidur berbaring memiliki sifat punggung
dan kepalanya ada yang menyangganya. Sehingga oleh Hanafiyah tidur duduk sambil
bersandar dan duduk dengan kepala ada penyangganya adalah batal karena termasuk
kategori tidur berbaring.
Berbeda dengan Syafi’iyah dan Hanafiyah, menurut Malikiyah sabda Rasul di
atas adalah bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah bukan kondisi/keadaan
tidurnya, tetapi menurut Malikiyah mudhtaji’ (berbaring) di sana adalah
kualitas tidurnya, karena pada umumnya orang yang tidurnya berkualitas pada
kondisi berbaring. Tidur yang berkualitas adalah tidur yang nyenyak. Sehingga
orang yang tidur duduk tapi berkualitas tidurnya dapat membatalkan wudhu’nya,
sebaliknya orang yang tidur berbaring tetapi tidak berkualitas tidak
membatalkan wudhunya.
Hampir sama dengan Malikiyah, Hanabilah juga berpendapat bahwa tidur yang
membatalkan wudhu adalah bukan pada kondisi/keadaan tidurnya tetapi menurut
beliau tidur yang membatalkan wudhu adalah dilihat dari kuantitasnya (berapa
lama dia tidur). Sehingga tidur duduk pun dapat membatalkan wudhu jika dia
tidur berjam-jam dalam waktu yang cukup lama. Sebaliknya tidur berbaring jika
sebentar tidak membatalkan wudhu.
Dengan demikian, perbedaan tersebut tidak perlu ada yang diperselisihkan,
karena semua pendapat tersebut dapat dianggap benar sesuai dengan ijtihad mereka
dan kita yang mengetahui alasan perbedaan tersebut sangat rasional. Oleh karena
itu, perbandingan madzhab mengungkap alasan-alasan para ulama kenapa mereka
berbeda pendapat, dan mereka sangat menerima perbedaan tersebut. Maka sebelum
lebih jauh berbicara tentang perbandingan madzhab atau dalam term lain di sebut
fiqh muqaran dalammakalah ini penulis akan memaparkan sejarah fiqh muqaran dan
perkembangannya sebagai langkah awal masuk pada ranah pendalaman pemahaman
terhadap seluk beluk fiqh muqaran atau perbandingan madzhab.
II. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Fiqh Muqaran
Terdapat beberapa definisi tentang pengertian fiqh Muqaran
yang diungkapkan oleh para sarjana muslim diantaranya adalah sebagai berikut.
Fiqh Muqaran adalah Suatu ilmu yang mengumpulkan
pendapat-pendapat suatu masalah ikhtilafiyah dalam fiqh, mengumpulkan, meneliti
dan mengkaji serta mendiskusikan dalil masing- masing pendapat secara objektif,
untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat yang didukung oleh
dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar, dan prinsip
umum syariat Islam.
Fiqh Muqaran atau dalam istilah lain disebut Perbandingan
Mazdhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha’ (Mujtahidin)
beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati, maupun
yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil masing-masing, yaitu dengan
cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh mujtahidin untuk
menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya. Terdapat tujuh kata kunci terkait
dengan hal ini, yaitu : Imam mujtahid, metode istinbath hukum,
materi fiqh, madzhab sebagai aliran fiqh yang kemudian menjadi komunitas,
kelompok pendukung/pengikut, istilah hukum yang digunakan, dan karya fiqh Imam Madzhab.
Definisi Fiqh Muqaran Menurut Syeikh Mahmud Syaltut adalah Mengumpulkan
pendapat para imam mujtahid berikut dalil-dalil tentang suatu masalah yang
diperselisihkan dan kemudian membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil
tersebut satu sama lain untuk menemukan pendapat yang terkuat dalilnya.
Dalam
kajian fiqh muqaran akan sangat erat sekali dengan ikhtilaf fuqaha’, adapun sebab-sebab
ikhtilaf tersebut adalh sebagai berikut
:
a. Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash.
b. Perbedaan dalam masalah hadits.
c. Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan kaidah-kaidah lughawiyah nash.
d. Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yan berlawanan.
e. Perbedaan tentang qiyas.
f. Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum.
g. Perbedaan dalam masalah nash
h. Perbedaan dalam pemahaman illat hukum.
Syaikh Muhamad al-Madaniyah dalam
bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada
empat macam, yaitu:
1.
Pemahaman Al-Qur’an dan sunnah
rasul.
2.
Sebab-sebab khusus tentang sunnah rasul
3.
Sebab-sebab yang berkenaan dengan
kaidah-kaidah ushuliyah atau fiqhiyah.
4.
Sebab-sebab yang khusus mengenai
penggunaan dalil-dalil di luar Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
2.
Sejarah Fiqh dan Perbedaan Madzhab Dalam Islam
Dalam kajian fiqh muqaran
merupakan sebuah keniscayaan untuk mengetahui sejarah perkembangan fiqh mulai
periode awal kerasulan sampai era kontemporer sekarang ini. Terdapat perbedaan
periodesasi fiqh di kalangan ulama kontemporer, diantaranya adalah menurut
Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad al-Zarqa pada masa Awal hingga periode
keemasaannya dan sekarang ini.
Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodesasi
fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, periode keenam yang
dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi dalam dua
periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri
Periodisasi menurut Al-Zarqa adalah sebagai berikut :
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai
wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah
Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan
syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang
kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan
periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju
pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak
jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk
mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada
Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara
bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang
menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini
disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik
2.
Periode
al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai
Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41
H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi
SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini
dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara
jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi
khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan
hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk
Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan
dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat
majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah
sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi
yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam
persoalan-persoalan baru tersebut.
3.
Periode awal
pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad
ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah
satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan
menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad
hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab
berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem social
masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan
Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik
Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat heterogen. Dalam
menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di
tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan
kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan tektualitas makna dari nash.
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen,
Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin
al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu.
Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah
Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab
persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat
pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota
inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang
berada di dua kota ini memiliki banyak hadits
Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam
menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan
fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah
menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlu al hadits.
Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang
pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara
lain Ibrahim an-Nakha’i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H.), dan
Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin
Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan
Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin
al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa’id bin Musayyab (15-94
H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah
(27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah
serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai
generasi thabi’in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai
persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk
mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi’in tersebut, diantaranya
fiqh al-Auza’i, fiqh an-Nakha’i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan
as-Sauri.
4.
Periode
keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada
pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini
termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode
sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad
yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu
agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke
panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan
yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang
ilmu sangat besar.
Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha
untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan
sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh
misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809)
meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun.
Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf
untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan,
ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini
dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far al-Mansur
(memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk
menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan
lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul
al-Muwaththa’ (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara
ahlulhadits dan ahlurra ‘yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat
berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad
dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk
keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang
mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid
kelompok ahlu ra’yi berupaya
membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan
untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlu hadits dapat menerima pengertian
ra’yu yang dimaksudkan ahlu ra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai salah satu cara dalam
meng-istinbat-kan hukum
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut
juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk
mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang merupakan salah satu kitab ahlu hadits. Sementara itu, Imam
asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf
juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlu ra’yi. Atas dasar ini, banyak
ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra’yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya
penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal
disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam
asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab
usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i.
Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias,
istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
Namun dari sekian banyak mazhab yang pernah ada, hanya beberapa mazhab
saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi,
mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu
: mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah.
Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih
sebagai berikut :
1. Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah
a. ahl
al-Ra’yi, kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
1.
Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah
a. Syi’ah Zaidiyah
b. Syi’ah Imamiyah
b. Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
a. Mazhab al-Auza’i
b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary
d. Mazhab al-Laitsi
b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary
d. Mazhab al-Laitsi
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald
al-‘Ulwani. beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat
dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi
dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui
dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Adapun
di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn
Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
13. Ibnu Jarir at-Thabari
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
13. Ibnu Jarir at-Thabari
5.
Periode tahrir,
takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai
pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih
adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari,
memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan
melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak
berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka
masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi.
Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari
prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus
sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan
prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang
berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi
(sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan
mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini
untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
6.
Periode
kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al- ’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki
Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan
dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode
ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan
terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing.
Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang
muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan
mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan
tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada
dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah
secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan
satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk
mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab
mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh
yang menonjol pada periode ini.
Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga
banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi
fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa
Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di
pengadilan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk
transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’,
tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut
dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan
pendapat dari pihak pemerintah.
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam
sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak
pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah yang merupakan
kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani
berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak
munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian
fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam
memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya
dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin
intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat
sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim.
Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya
pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan
ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga
ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan
situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam
al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah
(hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki
Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab
Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam
Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan
diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki
Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut
dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di
wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang
tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak.
Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi
juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam
hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan
tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara.
Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang
tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas
kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu
dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan
pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas
dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum
keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum
yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab
Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi ’i,
Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila
dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun
diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan
Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh
kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad
az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern,
ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari
berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan
demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak
pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini
kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201
H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali
asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan
bid’ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat
(Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ’i dan Imam Ahmad bin Hanbali
membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu
mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab,
yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik
seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut
karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan
al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang
mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama
sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif
dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik
dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab,
sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih
pendapat yang akan diambil.
Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh
kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu
lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak
diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan
hukum produk Barat.
3.
Sejarah Fiqh
Muqarin (Ilmu Perbandingan Madzhab)
Sejarah menunjukkan sebagian kaum muslimin telah menyadari
bahwa kemunduran yang melanda dirinya merupakan akibat dari perpecahan umat.
Oleh karena itu, mereka mulai menyerukan persatuan dan menyingkirkan
sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan.
Langkah pertama yang diambil untuk mewujudkan kembali
persatuan umat ialah melakukan pendekatan antar madzhab. Pendekatan inilah yang
dijadikan pertimbangan oleh para ulama al-Azhar dalam pengambilan keputusan
perluasan pengkajian perbandinagn fiqh. Pengkajian tidak hanya terbatas pada
pengertian nama-nama firqoh yang ada, namun membahas perbedaan dalam pandangan
dasar dan pemahaman dalam masalah far’iyah.
Langkah untuk mendekatkan antar madzhab ini dilakukan untuk
menjernihkan akidah sebagai dasar untuk kekuatan Islam. Penjernihan yang
dimaksud adalah penafian ajaran Islam dari berbagai unsur penyelewengan dan
pemahaman sesat yang disebabkan oleh fanatisme madzhab, suku, dan ras.
Pola perbandingan sebetulnya sudah ada sejak jaman dahulu.
Para fuqaha sudah melakukan rintisan perbandingan, diantaranya Ibnu Ruysd
dengan bukunya Bidayatul Mujtahid, Ibnu Qudamah dengan bukunya Al-Mughni dan
Imam Nawawi dengan kitab Al-Majmu. Walaupun telah digunakan metode perbandingn
dalam karya-karya tersebut namun belum membentuk suatu ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri, Hanya merupakan perbandinagn sekilas saja dalam
masalah-masalah fiqh.
Awal abad ke-20 ini, barulah lahir ilmu perbandingan madzhab,
suatu ilmu yang mempunyai corak tersendiri, karena mempunyai metode,
sistematika dan tujuan tertentu sebagai suatu ilmu. Jika boleh dikatakan ilmu
ini ada pada tahun 1929. Hal ini terlihat dalam undang-undang kekeluargaan
Mesir yang pembahasannya tidak hanya bermadzhab pada imam Hanafi tetapi
mengambil pula pendapat madzhab-madzhab lainnya. Al-Maraghi
adalah orang yang pertama mengusulkan adanya mata kuliah perbandingan madzhab
di fakultas-fakultas di Universitas Al-Azhar. Usul ini diterima dan ditetapkan
menjadi mata kuliah wajib di masing-masing fakultas.
Jadi munculnya Fiqh Muqaran sudah ada sejak zaman ulama
klasik, banyak karya-karya yang memaparkan tentang perbedaan pendapat antar
Madzahib Fiqh dan mengkomparasikan pendapat tersebut berdasarkan kaidah
istinbath hokum mereka masing-masing, namun munculnya Fiqh Muqaran sebagai
kajian ilmu tersendiri, mengalami kemapanan pada era abad 20 an.
Adapun karya-karya ulama klasik tentang Fiqh Muqaran diantaranya
adalah sebagai berikut :
1.
Kitab ikhtilaf al ulama’, Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazi (202 –
294 H)
2.
Ikhtilaf al Fuqaha’, Abu ja’far bin jarir al Thabari (224 – 310 H)
3.
Al Isyraf ‘Ala Madzahib al Ulama’, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir
(242 – 318 H)
4.
Ta’sis al Nadhar, Abu Zaid ‘Ubaidillah bin Umar Al Dabusi (430 H)
(Hanafiyyah)
5.
Al Hawi al Kabir, Abu al hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi (364 –
450 H) (Syafi’iyyah)
6.
Al Muhalla, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm (384 – 456 H) (Dhahiriyyah)
7.
Al Ma’unah fi al Jadal, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali al Syirazi (393 – 476 H)
8.
Hilyat al ‘Ulama, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin al Husain al Syasyi al
Qaffal (429 – 507 H) (Syafi’iyyah)
9.
Thariqat al Khilaf fi al Fiqh Baina al Aimmah al Aslaf, Muhammad bin Abdul
hamid al Asmandi (488 – 552 H) (Hanafiyyah)
10.
Al Ifshah An Ma’ani al Shihah, Al Wazir ‘Aun al Din Abu al Mudhaffir Yahya
bin Muhammad bin Habirah al Hambali (499 – 560 H) (Hambaliyyah)
11.
Bidayah al Mujtahid, Abu al Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd (520 – 595
H) (Malikiyyah)
12.
Al Mughni, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah (541 – 620 H)
(Syafi’iyyah)
13.
Al Majmu’, Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al Nawawi (631 – 676 H)
(Syafi’iyyah)
14.
Rahmat al Ummah Fikhtilaf al Aimmah, Abu Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman
al Dimsiqi al Syafi’i. (Syafi’iyyah)
Dan berikut ini adalah karya ulama kontemporer tentang Fiqh
Muqaran , diantaranya :
1.
Muqaranat al Madzahib fi al Fiqh, al Syaikh Mahmud Syaltut wa al Syaikh Ali
al Sayis.
2.
Buhus Muqaranah fi al Fiqh al Islami wa Ushulihi, al Syaikh Dr. Muhammad
Fathi al Darini.
3.
Muhadlarat fi al Fiqh al Muqaran, Dr. Muhammad Sa’id Ramdlan al Buthi
4.
Kitab al Fiqh al Islami wa Adillatihi, Dr. Wahbah al Zuhaily.
4.
Fiqh Muqaran (Perbandingan Madzhab); Sebagai Ilmu Dan Metode
Istilah perbandingan madzhab merupakan terjemahan dari kata “muqaranah
al madzahib”. Dalam perkembangan keilmuan,
dikenal juga istilah “fiqih muqaran”. Para ahli telah berupaya untuk
mendefinisikan istilah tersebut. Berikut dikemukakan pengertian muqaranah al-madzahib
dan fiqh muqaran oleh para ahli:
1. Wahab Afif mengartikan bahwa
perbandingan madzhab adalah “ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat
fuqaha beserta dalil-dalilnya mnegenai masalah-masalah, baik yang disepakati
maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil masing-masing pendapat
yang paling kuat”.
2. Abdurrahman mengartikan bahwa perbandingan madzhab adalah
“ilmu yang memperbandingkan satu madzhab dengan madzhab lainnya. Karena di
antara madzhab-madzhab tersebut terdapat perbedaan”.
3. Huzaemah Tahido Yanggo mendefinisikan perbandingan madzhab
sebagai ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha (mujtahidin)
beserta dalil-dalinya mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati (ijmak),
maupun yang diperselisihkan (ikhtilaf) dengan membandingkan dalil
masing-masing, yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan
oleh mujtahidin untuk menemukan pendapat fuqaha yang paling kuat.
4. Syaikh Mahmoud Syaltout menjelaskan bahwa istilah
perbandingan madzhab adalah identik dengan istilah fiqih muqaran, yaitu
“mengumpulkan pendapat para imam mujtahid berikut dalil-dalinya tentang suatu
masalah yang diperselisihkan dan membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil
tersebut untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya”.
5. Muslim Ibrahim juga menyamakan antara muqaranah
al-madzahib dengan istilah fiqh muqaran. Ia mendefinisikannya sebagai “suatu
ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu masalah ikhtilafiyyah fiqih, mengumpulkan,
meneliti dan mengkaji serta mendiskusikan dalil masing-masing pendapat secara
objektif, untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat yang
didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar
dan prinsip umum syariat Islam”.
Jika melihat pada definisi-definisi di atas, perbandingan
madzhab diangggap sebagai suatu ilmu yang mandiri yang memiliki ontology,
epistemology dan aksiologi tersendiri. Lebih jauh tentang hal ini, Muslim
Ibrahim menjelaskan bahwa perbandingan madzhab adalah salah satu cabang dari
fiqih muqaran. Fiqh muqaran sendiri menurutnya, memiliki empat buah cabang,
yaitu muqaranah al-madzahab fi al-fiqh (dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan “perbandingan madzhab”), muqaranah al-madzahbi fi ushul al-fiqh
(ushul fiqih perbandingan), muqaranah asy-syara’i (perbandingan syariah) dan
muqaranah fi al-qawanin al-wadh’iyyah (perbandingan hukum”)
Di samping suatu ilmu yang mandiri, perbandingan madzhab juga
adalah suatu metode. Metode perbandingan madzhab adalah suatu metode yang para
fuqaha berusaha mencari masalah yang diperselisihkan. Langkah dari metode perbandingan
madzhab adalah sebagai berikut:
1.
Mengutip pendapat-pendapat para fuqaha dari berbagai
madzhab yang diambil dari kitab-kitab madzhab, terutama pendapat yang dianggap
paling kuat;
2.
Mengutip dalil-dalil yang digunakan para fuqaha, baik
dari al-Quran, as-Sunnah, qiyas dengan syarat dalil-dali tersebut yang paling
kuat;
3.
Mengidentifikasi faktor yang menjadi pemicu dari
perbedaan pendapat tersebut;
4.
Mengkritisi kuat atau lemahnya pendapat dan dalil yang
dikemukakan masingmasing fuqaha;
5. Menelusuri hikmah-hikmah
yang terkandung di belakang perbedaan itu, untuk dimanfaatkan sebagai rahmat
Allah SWT.
6.
Menarik kesimpulan dan memilih pendapat yang terkuat
dalilnya serta cocok untuk diterapkan.
5.
Urgensi Fiqh Muqaran
Memperbandingkan madzhab untuk mendapatkan dalil yang terkuat
dan pendapat yang lebih cocok diterapkan adalah suatu kewajiban dan
mengamalkannya pun suatu kewajiban. Meskipun sebagian ulama mutaakhirin
berpendapat bahwa mengamalkan hasil perbandingan akan mengakibatkan perpindahan
madzhab, yang juga tidak dibenarkan oleh mereka, tetapi pendapat mereka ini
lemah, tidak berdasarkan dalil yang kuat. Justru hasil studi perbandingan yang
terbaik adalah mengamalkan apa yang menurut pembanding paling kuat dalilnya,
baik bagi pembanding sendiri maupun bagi masyarakat umum.
Hukum yang didapatkan dari hasil perbandingan, tak lain
merupakan hasil penelitian yang objektif, sedang mengamalkan yang terkuat dalilnya
adalah wajib.
III.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ini bermanfaat
untuk menghindari ta’asub (fanatik) buta, sehingga tidak terjadi friksi dengan
pihak/golongan lain. Pada prakteknya ternyata memang banyak friksi di lapangan
yang seharusnya tidak mesti terjadi. Hal ini karena ketidaktahuan atau
kurangnya informasi yang benar tentang mazhab-madzhab yang ada.
Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan, dan itu adalah merupakan
rahmat bagi seluruh umat, sebagai generasi penerus, seyogyanya kita bisa
memanfaatkan apa yang menjadi peninggalan berharga dari sejarah keilmuan Islam,
dengan lebih focus terhadap kajian fiqh muqaran maka umat islam pasti akan
mampu untuk menjawab tantangan zaman di era sekarang ini.
Akhirnya apabila ada kesalahan mohon itu adalah semata karena kekurangan
kami sebagai manusia biasa, dan apabila ada kebenaran itu semua adalah atas
pertolongan Allah, saran kritik yang membangun sangat kami harapkan demi
kemajuan yang lebih baik lagi. Wa bi Allah al taufiq wa al Hidayah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Sa’id Ramdlan al
Buthi, Muhadlarat fi al Fiqh al Muqaran, Dar al-Fikr, Beirut 1992
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh
‘ala al-madzahib al-arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut 2004
Ibn Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid, Dar al-Fikr, Beirut 2001
Sayyid Sabiq, Fiqh
as-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut 2000
Abu Sulaiman, Abd.
Al-Wahab Ibrahim, al-Fikr al-Ushuli, Jeddah : Dar al-Syuruq, Cet. I,
1983.
Khomis, Qasim Abdul Aziz, Aqwal
al-Shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002.
H. Hasbiyallah, M.Ag.
Perbandingan Madzhab, Jakarta, Juli 2012
Hasan, M. Ali, Perbandingan
Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997.
Ismail, Ahmad satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam,
Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003.
Nasution, Harun, Teologi
Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 2002.